Kecamatan Patimuan Terancam Kehilangan Generasi Petani
Kecamatan Patimuan Kecamatan Patimuan Terancam Kehilangan Generasi Petani
Foto Petani Warga Patimuan Yang Sudah Tua |
1. FAKTOR PENDIDIKAN TINGGI
Pendidikan tinggi yang menjadi faktor hilangnya generasi petani hal tersebut jelas berpengaruh terhadap perkembangan generasi petani,biasanya orang berpendidikan tinggi ia enggan memilih bekerja di sawah ia akan memilih bekerja di kantor atau yang tidak berhubungan dengan pertanian, Usai lulus dari perguruan tinggi biasanya warga daerah Patimuan merantau ke kota-kota besar seperti jakarta, surabaya, semarang bahkan keluar negri.
2. Pemuda dan Masyarakat Tidak Tertarik Pada Perekonomian Sektor Pertanian
Menghilangnya generasi penerus pertanian di Desa Patimuan dapat dilihat seberapa pemuda tertarik pada sektor pertanian. Sudah umum dalam pandangan masyarakat bahwasanya pekerjaan sektor pertanian merupakan pekerjaan orang tua, bukan pemuda. Orang tua mengerjakan ladang untuk bercocok tanam sementara pemuda bekerja di sektor lain. Di Desa Patimuan sektor pertanian memang menjadi sektor utama sumber mata pencaharian masyarakat. Namun keterlibatan pemuda dalam sektor petanian terlihat sangat minim, dari 48 pemuda 2 diantaranya bekerja di sektor pertanian, 31 lainya sektor industri di kota-kota besar dan 15 lainya pengangguran tidak tetap.Lebih rincinya akan dibahas dalam bagian sub-bab selanjutnya.
3. Ketidak tertarikan
Ketidak tertarikan pemuda terhadap sektor pertanian dilatar belakangi pengetahuan pertanian pemuda yang rendah.Yang menjadi tolak ukur adalah seberapa paham pemuda tentang cara bertani, mulai dari mempersiapkan ladang, menanam, hingga memanen serta mengolah lahan.
“yahono yah ene aku ora tau melok neng sawah, dadi pie carane
ngerumat sawah, nandur, nge-
mes, ngompres, ambeg manen. Kui lo
aku ora eroh”
“selama ini saya tidak pernah ikut ke ladang, sehingga saya tidak tahu
bagai mana caranya merawat sawah, menanam, memupuk, menyiram,
dan panen”
Dari salah satu penuturan arif ini tampak bahwasanya pendidikan pertanian pemuda Patimuan masih tergolong minim. Memang tidak semua pemuda Desa seperti Arif. Ada pula yang mengerti caranya namun tidak memiliki peluang untuk masuk kesektor pertanian, karena pekerja utamanya ialah orang tua mereka dan pemuda hanya sebagai tenaga bantu.
“aku ngerti carane nandur brambang, carane ngerumat, carane
metani sampek carane ngerawat, tapi aku ora weruh sorone, soale
seng nggarap sawah iku Bapakku, aku mung tenogo rewang tok”
“Saya tahu caranya menanam bawang merah, cara merawat, cara
memilah daun yang busuk (ulat) hingga cara merawatnya, namun saya
tidak merasakan susah payahnya, karena yang bekerja di sawah itu
Bapak saya, saya hanya sebagai tenaga bantu saja.”
Dari penuturan di atas dapat peroleh gambaran bahwasanya minimnya tingkat partisipasi pemuda disebabkan oleh tingkat pengetahuan pemuda yang rendah, sehingga pemuda menjadi buta akan pertanian yang dikerjakan orang tua mereka. Dan didukung pula faktor dari sisi cara orang tua mendidi anak mereka dengan menjauhkan pemuda dengan pertanian. Untuk itu perlu diadakanya pendidikan bertani untuk pemuda serta untuk orang tua. pemuda dan masyarakat lebih memilih perekonomian sektor buruh dan TKI. Beermula dari nilai produksi hasil dari bercocok tanam yang semakin lama semakin menurun hasil yang diperoleh para petani, karena kebutuhan petani diakomodir oleh pihak swasta seperti, bibit, pupuk, obat dan lainnya.
Sehingga biaya untuk menanam tergolong tinggi dengan biaya untuk pembelian pupuk sedangkan hasil produksi yang diperoleh masih diluar dari harapan masyarakat. Munculah sikap masyarakat yang pasrah terhadap pertanian dan mulai muncul masyarakat yang bekerja menjadi buruh di kota-kota besar dan menjadi Tenaga Kerja Indonesia. Desa Patimuan yang merupakan wilayah pedesaan yang bersifat agraris talah terinveksi penyakit modernisasi ekonomi kapitalis. Mentalitas buruh kurang lebih telah banyak muncul dalam diri masyarakat Patimuan. Ditandai dengan timbulnya masyarakat yang mulai berfikir tentang mekanisme etos kerja agraris dimana pertanian dianggap tidak dapat membawa maslahat untuk kehidupan masa depan. Sepertihalnya penuturan berikut ini:
“Anakku ojo sampek soro koyok aku, aku tani anak ku ojo sampek
dadi tani koyok aku, tani iku soro, luweh penak nek kerjo melok
uwong, oleh duit ketok, g lere
n soro soro nemen”
(Damino, 46 th)
“Anak saya jangan sampai lebih susah seperti saya, saya petani anak
saya jangan sampai jadi petani seperti saya, tani itu susah, lebih enak
jika kerja ikut sama orang, dapat uang yang nyata terlihat, tidak perlu
susah payah”
Ditengarai dari ucapan Damino (46Tahun) diatas bahwasanya profesi menjadi tani tidak menguntungkan petani itu sendiri, malahan Damino mendidik anaknya untuk bekerja di luar sektor pertanian. Keraguan dan ketidakpercayaan Damino terhadap sektor pertanian yang mereka miliki sendiri dikarenakan nilai hasil produksi pertanian yang tidak membuat petani untung.
“Mending sawah ku tak sewakno, dari pada tak garap dewe untung e
ora akeh. Nek tak sewakno kan iso intuk bagi hasil gak usah melok
soro.”
“saya sewakan bisa mendapat bagian bagi hasil tanpa ikut susah payah”
Dari ungkapan Ngaesah (62 tahun) tampak bahwa pertanian bukan profesi yang menjanjikan. Masyarakat yang tergolong memiliki lahan luas lebih memilih untuk menyewakan lahanya dari pada mengerjakan lahan yang dimiliki. Dengan sistem bagi hasil tampa ikut campur dalam proses pertanian menjadi pilihan Ngaesah dari pada harus bersusah payah merawat pertanian yang hasilnya tidak menentu.
Posting Komentar untuk "Kecamatan Patimuan Terancam Kehilangan Generasi Petani "