Kecamatan Patimuan Terancam Kehilangan Generasi Petani

Kecamatan Patimuan  Kecamatan Patimuan Terancam Kehilangan Generasi Petani

Petani Patimuan Jawa Tengah

Foto Petani Warga Patimuan Yang Sudah Tua
Patimuan Jawa Tengah _KompaskoMedia, Sukir (56th) Mengaku kesulitan untuk menggarap lahannya yang hendak di tanam padi hal ini bukan karena mahalnya sarana pertanian ia pun menjelaskan faktor-faktor penghambat yang di rasakan selama 6 tahun terakhir Sukir (56th) Mengaku kesulitan untuk mendapat Tenaga kerja untuk membantu mengurus lahannya, sehingga mau tidak mau Sukir yang kini menginjak Umur yang ke 56 tahun harus exstra bekerja keras demi menjaga perekonomian keluarganya. Pak. Sukir juga menjelaskan kepada tim Kompaskomedia faktor-faktor minimnya tenaga kerja untuk meggarap sawahnya tersebut faktor faktor tersebut sebagai berikut:



1. FAKTOR PENDIDIKAN TINGGI



Pendidikan tinggi yang menjadi faktor hilangnya generasi petani hal tersebut jelas berpengaruh terhadap perkembangan generasi petani,biasanya orang berpendidikan tinggi ia enggan memilih bekerja di sawah ia akan memilih bekerja di kantor atau yang tidak berhubungan dengan pertanian, Usai lulus dari perguruan tinggi biasanya warga daerah Patimuan merantau ke kota-kota besar seperti jakarta, surabaya, semarang bahkan keluar negri.



2. Pemuda dan Masyarakat Tidak Tertarik Pada Perekonomian Sektor Pertanian



Menghilangnya generasi penerus pertanian di Desa Patimuan dapat dilihat seberapa  pemuda tertarik pada sektor pertanian. Sudah umum dalam pandangan masyarakat bahwasanya pekerjaan sektor pertanian merupakan pekerjaan orang  tua, bukan pemuda. Orang tua mengerjakan ladang untuk bercocok tanam sementara pemuda bekerja di sektor lain. Di Desa Patimuan sektor pertanian memang menjadi sektor utama sumber mata pencaharian masyarakat. Namun keterlibatan pemuda dalam sektor petanian terlihat sangat minim, dari 48 pemuda 2 diantaranya bekerja di sektor pertanian, 31 lainya sektor industri di kota-kota besar dan 15 lainya pengangguran tidak tetap.Lebih rincinya akan dibahas dalam bagian sub-bab selanjutnya.



3. Ketidak tertarikan



Ketidak tertarikan pemuda terhadap sektor pertanian dilatar belakangi pengetahuan pertanian pemuda yang rendah.Yang menjadi tolak ukur adalah seberapa paham pemuda tentang cara bertani, mulai dari mempersiapkan ladang, menanam, hingga memanen serta mengolah lahan.



“yahono yah ene aku ora tau melok neng sawah, dadi pie carane


ngerumat sawah, nandur, nge-


mes, ngompres, ambeg manen. Kui lo


aku ora eroh”



 “selama ini saya tidak pernah ikut ke ladang, sehingga saya tidak tahu


bagai mana caranya merawat sawah, menanam, memupuk, menyiram,


dan panen”



Dari salah satu penuturan arif ini tampak bahwasanya pendidikan pertanian pemuda Patimuan masih tergolong minim. Memang tidak semua pemuda Desa seperti Arif. Ada pula yang mengerti caranya namun tidak memiliki peluang untuk masuk kesektor pertanian, karena pekerja utamanya ialah orang tua mereka dan pemuda hanya sebagai tenaga bantu.



“aku ngerti carane nandur brambang, carane ngerumat, carane


metani sampek carane ngerawat, tapi aku ora weruh sorone, soale


seng nggarap sawah iku Bapakku, aku mung tenogo rewang tok”


 “Saya tahu caranya menanam bawang merah, cara merawat, cara


memilah daun yang busuk (ulat) hingga cara merawatnya, namun saya


tidak merasakan susah payahnya, karena yang bekerja di sawah itu


Bapak saya, saya hanya sebagai tenaga bantu saja.”


Dari penuturan di atas dapat peroleh gambaran bahwasanya minimnya tingkat partisipasi pemuda disebabkan oleh tingkat pengetahuan pemuda yang rendah, sehingga pemuda menjadi buta akan pertanian yang dikerjakan orang tua mereka. Dan didukung pula faktor dari sisi cara orang tua mendidi anak mereka dengan menjauhkan pemuda dengan pertanian. Untuk itu perlu diadakanya pendidikan bertani untuk pemuda serta untuk orang tua. pemuda dan masyarakat lebih memilih perekonomian sektor buruh dan TKI. Beermula dari nilai produksi hasil dari bercocok tanam yang semakin lama semakin menurun hasil yang diperoleh para petani, karena  kebutuhan petani diakomodir oleh pihak swasta seperti, bibit, pupuk, obat dan lainnya.



Sehingga biaya untuk menanam tergolong tinggi dengan biaya untuk pembelian pupuk sedangkan hasil produksi yang diperoleh masih diluar dari harapan masyarakat. Munculah sikap masyarakat yang pasrah terhadap pertanian dan mulai muncul masyarakat yang bekerja menjadi buruh di kota-kota besar dan menjadi Tenaga Kerja Indonesia. Desa Patimuan yang merupakan wilayah pedesaan yang bersifat agraris talah terinveksi penyakit modernisasi ekonomi kapitalis. Mentalitas buruh kurang lebih telah banyak muncul dalam diri masyarakat Patimuan. Ditandai dengan timbulnya masyarakat yang mulai berfikir tentang mekanisme etos kerja agraris dimana pertanian dianggap tidak dapat membawa maslahat untuk kehidupan masa depan. Sepertihalnya penuturan berikut ini:



“Anakku ojo sampek soro koyok aku, aku tani anak ku ojo sampek


dadi tani koyok aku, tani iku soro, luweh penak nek kerjo melok


uwong, oleh duit ketok, g lere


n soro soro nemen”


(Damino, 46 th)


 “Anak saya jangan sampai lebih susah seperti saya, saya petani anak


saya jangan sampai jadi petani seperti saya, tani itu susah, lebih enak


jika kerja ikut sama orang, dapat uang yang nyata terlihat, tidak perlu


susah payah”


Ditengarai dari ucapan Damino (46Tahun) diatas bahwasanya profesi menjadi tani tidak menguntungkan petani itu sendiri, malahan Damino mendidik anaknya untuk bekerja di luar sektor pertanian. Keraguan dan ketidakpercayaan Damino terhadap sektor pertanian yang mereka miliki sendiri dikarenakan nilai hasil produksi pertanian yang tidak membuat petani untung.


“Mending sawah ku tak sewakno, dari pada tak garap dewe untung e


ora akeh. Nek tak sewakno kan iso intuk bagi hasil gak usah melok


soro.”


“saya sewakan bisa mendapat bagian bagi hasil tanpa ikut susah payah”


Dari ungkapan Ngaesah (62 tahun) tampak bahwa pertanian bukan profesi yang menjanjikan. Masyarakat yang tergolong memiliki lahan luas lebih memilih untuk menyewakan lahanya dari pada mengerjakan lahan yang dimiliki. Dengan sistem bagi hasil tampa ikut campur dalam proses pertanian menjadi pilihan Ngaesah dari pada harus bersusah payah merawat pertanian yang hasilnya tidak menentu.








 

Posting Komentar untuk "Kecamatan Patimuan Terancam Kehilangan Generasi Petani "

POPULER SEPEKAN

Linda Sahabat Vina Akhirnya Buka Suara usai Pegi Ditangkap
Merpati Kolongan Laku 1,5 Miliyar
 Siswi SMP di Ajibarang Diperkosa Ayah dan Kakak sejak Usia 12 Tahun
Demi Memenuhi Kebutuhan Popok dan Susu Bayi Umur 10 Bulan Dicat Silver Untuk Mengemis
Masukin Cowok Bangladesh Tidur Bareng Sekamar, Seorang PMI Dipolisikan Majikan
Muncul Grup Lawak Mirip Warkop DKI, Indro Warkop Marah Hingga Sebut Tak Punya Etika
Ngaku "Kyai Sakti" Bisa Obati Segala Penyakit, Warga Banyumas Ditangkap Polisi
Gadis Belia Jadi Korban Pencabulan Oleh Pegawai Salon di Cipari Cilacap
Aplikasi Penghasil Saldo Dana di Bulan September Terbukti Membayar
KARTU PRAKERJA GELOMBANG 69 BERKEMUNGKINAN AKAN DIBUKA SEBENTAR LAGI