Keberadaan lembaga notaris dilandasi
oleh kebutuhan masyarakat dalam membuat akta otentik sebagai suatu alat bukti
yang mengikat. Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut Undang-Undang
Jabatan Notaris), Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.
Keberadaan lembaga notaris dikehendaki oleh aturan hukum dengan tujuan
untuk melayani dan membantu masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis
yang bersifat otentik. Tugas seorang notaris adalah menjadi pejabat umum, sedangkan
wewenangnya adalah membuat akta otentik. Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, menegaskan bahwa Notaris berwenang membuat
akta otentik
mengenai: semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh peraturan per undang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik; menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta; menyimpan akta; memberikan grosse; salinan dan kutipan akta. Semuanya sepanjang
pembuatan akta itu tidak ditugaskan atau dikesesuaikan kepada pejabat lain yang
telah ditetapkan oleh undang-undang. Notaris juga berwenang untuk mengesahkan
tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftarkan
dalam buku khusus; membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftarkan dalam
buku khusus; membuat kopi dari asli surat di bawah berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; memberikan
penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; membuat akta yang berkaitan
dengan pertanahan; atau membuat akta risalah lelang.
Kebutuhan akta otentik adalah untuk
menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat yang mengadakan suatu
perjanjian atau perbuatan hukum. Pengaturan mengenai akta otentik telah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik
adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di
tempat dimana akta dibuatnya.
Notaris sebagai pejabat umum berwenang
untuk membuat akta otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Akta otentik pada
hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para
pihak kepada notaris. Notaris mempunyai kewajiban menerapkan apa yang termuat
dalam akta notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak
para pihak, yaitu dengan cara membacakannya, sehingga isi dari akta notaris menjadi
jelas.
Akta otentik yang dibuat oleh notaris tak jarang
dipermasalahkan oleh salah satu pihak atau oleh pihak lain karena dianggap
merugikan kepentingannya, baik dengan pengingkaran akan isi akta, tandatangan
maupun kehadiran pihak di hadapan notaris, bahkan adanya dugaan dalam akta otentik tersebut
ditemukan keterangan palsu. Perbuatan notaris yang diduga telah memasukkan keterangan
palsu ke dalam suatu akta otentik dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal ini dimungkinkan dengan
begitu banyaknya jenis akta otentik yang dapat dibuat oleh notaris, dan atas
dasar tersebut dibutuhkan suatu perlindungan hukum terhadap notaris dalam
menjalankan jabatannya selaku pejabat umum.
Apabila ada notaris yang diduga
melakukan kesalahan dalam proses pembuatan akta otentik, sedangkan notaris tersebut
telah melakukan tugas dan kewenangannya sesuai dengan aturan hukum, maka
Majelis Kehormatan Notaris (selanjutnya
disebut MKN) harus memberikan suatu perlindungan hukum
kepada notaris yang bersangkutan dengan memanggil dan memeriksa notaris tersebut
untuk diminta keterangannya sebelum memberikan persetujuan atau menolak
permintaan yang diajukan oleh penyidik yang hendak memeriksa notaris tersebut.
Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa ada pihak-pihak atau klien yang
datang menghadap notaris mempunyai maksud yang tidak baik seperti, sewaktu ia
menghadap notaris untuk memohon dibuatkan suatu akta otentik, ia menggunakan
identitas palsu atau surat atau dokumen palsu, sehingga notaris yang mencoba
membantu memformulasikan kehendak pihak tersebut ke dalam suatu akta otentik
justru menjadi terlibat masalah hukum dan bahkan dapat dituduh turut serta atau
membantu melakukan suatu tindak pidana dalam proses pembuatan akta otentik
tersebut, sedangkan notaris tidak berwenang atau berkewajiban untuk memeriksa keaslian
segala dokumen yang diserahkan oleh para pihak kepada notaris. Apabila dalam hal tersebut MKN
tidak menemukan adanya bukti terkait dengan adanya dugaan malapraktek yang dilakukan
oleh notaris, maka MKN wajib memberikan suatu bentuk perlindungan hukum
kepada notaris yang bersangkutan dengan tidak memberikan persetujuan kepada
penyidik, jaksa maupun hakim untuk memanggil dan memeriksa notaris tersebut
dalam persidangan.
Oleh sebab itu, notaris perlu
mendapat pengawasan terhadap pelaksanaan tugas notaris. Sisi lain dari
pengawasan terhadap notaris adalah aspek perlindungan hukum bagi notaris di
dalam menjalankan tugas dan fungsi yang oleh undang-undang telah diberikan
dan dipercayakan kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam butir konsideran yaitu
notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan
hukum kepada masyarakat yang perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi
tercapainya kepastian hukum.
Selain itu, selaku pejabat umum notaris juga
memiliki hak-hak istimewa sebagai konsekuensi predikat jabatan yang
dimilikinya. Hak-hak istimewa yang dimiliki notaris menjadi pembeda
perlakuan dibandingkan masyarakat biasa. Bentuk-bentuk perlakuan itu
diantaranya, berkaitan dengan hak ingkar notaris yang harus diindahkan,
perlakuan dalam hal pemanggilan, pemeriksaan, proses penyelidikan dan
penyidikan.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa, keberadaan dan kehadiran seorang notaris senantiasa
diperlukan oleh masyarakat. Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai
pejabat umum selain pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah diperlukan juga
suatu mekanisme hukum yang dapat digunakan oleh notaris untuk melindungi
dirinya sehingga profesi notaris tetap di percaya oleh masyarakat.
1.1 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pertanggung
jawaban notaris secara perdata terhadap akta-akta yang dibuatnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku?
2. Bagaimanakah bentuk
perlindungan hukum bagi notaris sebagai pejabat umum apa bila terjadi kesalahan
dalam pembuatan akta berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
2.1 Pengertian Notaris sebagai Pejabat Umum
Hukum positif di Indonesia saat ini telah mengatur dengan tegas mengenai
jabatan notaris dalam suatu undang-undang khusus yaitu yang diatur dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, disebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Dapat diketahui
bahwa, kewenangan notaris selain diatur di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
juga diatur dalam undang-undang yang lain, sepanjang kewenangan tersebut tidak
diberikan kepada pejabat umum yang lainnya, maka kewenangan tersebut menjadi
kewenangan notaris.
Notaris dikualifikasikan sebagai pejabat umum, yang merupakan orang yang
menjalankan sebagian fungsi publik dari negara, khususnya dibidang hukum perdata.
Pejabat umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada
mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta otentik.
Notaris sebagai pejabat umum memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik. Hal
inilah yang membedakan notaris dengan profesi lainnya, oleh karena itu, jabatan
notaris memiliki karakteristik sebagai berikut:
Jabatan notaris merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja
dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu serta bersifat
berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. Notaris sebagai
jabatan, maka ia wajib diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia), sebagaimana yang diatur dalam Pasal
2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
2) Diangkat dan diberhentikan
oleh pemerintah
Seorang notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan
oleh pemerintah, tidak berarti bahwa notaris merupakan suboordinasi (bawahan)
dari pemerintah yang mengangkatnya. Jadi, dalam hal ini seorang notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya harus bersifat mandiri, artinya seorang notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum harus mampu bekerja dan
bertanggung jawab secara pribadi. Selain itu seorang notaris dalam melaksanakan
jabatannya tidak boleh memihak kepada siapa pun. Seorang notaris harus mampu
bekerja secara profesional dan tidak boleh memihak kepada siapa pun, selain itu
notaris juga harus berperilaku adil dan jujur kepada para pihak yang datang
menghadap kepadanya.
3) Notaris mempunyai kewenangan
tertentu
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya,
sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan
dengan wewenang jabatan lainnya. Jadi, jika seseorang pejabat (notaris)
melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat
dikatagorikan sebagi perbuatan melanggar wewenang
4) Tidak menerima gaji atau
pensiun dari yang mengangkatnya
Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tapi tidak menerima
gaji, maupun pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari
masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan secara
cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.
5) Akuntabilitas atas
pekerjaannya kepada masyarakat
Kehadiran notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan
dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga notaris
mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat. Masyarakat dapat menggugat
secara perdata kepada notaris, dan menuntut biaya ganti rugi dan bunga jika
ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku, hal ini merupakan bentuk akuntabilitas notaris kepada masyarakat.
Pejabat Umum adalah seorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah
dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu
karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan
dari pemerintah. Dalam jabatannya tersimpul suatu sifat atau ciri khas yang
membedakannya dan jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat. Kedudukan notaris
sebagai pejabat umum merupakan suatu jabatan terhormat yang diberikan oleh negara
secara atributif melalui undang-undang kepada seorang yang dipercayainya.
Diangkatnya seorang notaris maka ia dapat menjalankan tugasnya dengan bebas,
tanpa dipengaruhi badan eksekutif dan badan lainnya dan dapat bertindak netral
dan independen. Tugas notaris adalah untuk melaksanakan sebagian fungsi publik
dari negara dan bekerja untuk pelayanan kepentingan umum khususnya dalam bidang
hukum perdata, walaupun notaris bukan merupakan pegawai negeri yang menerima
gaji dari negara.
Pelayanan kepentingan umum tersebut adalah dalam arti bidang pelayanan pembuatan
akta dan tugas-tugas lain yang dibebankan kepada notaris, yang melekat pada
predikat sebagai pejabat umum dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan notaris.
Akta notaris yang diterbitkan oleh notaris memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat.
Notaris mempunyai peran serta dalam aktivitas menjalankan profesi hukum
yang tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan mendasar yang berkaitan
dengan fungsi serta peranan hukum itu sendiri, bahwa hukum diartikan sebagai
kaidah-kaidah yang mengatur segala kehidupan masyarakat. Lembaga notariat
merupakan lembaga yang ada dalam masyarakat dan timbul karena adanya kebutuhan
anggota masyarakat yang melakukan suatu perbuatan hukum, yang menghendaki
adanya suatu alat bukti tertulis jika ada sengketa atau permasalahan, agar
dapat dijadikan bukti yang paling kuat di pengadilan. Itulah alasan masyarakat
membutuhkan jasa notaris untuk membuat akta otentik.
Kewenangan notaris dalam membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau
yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan salinan,
dan kutipan akta, semua itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang. Notaris mendapat kuasa dari Kementrian Hukum dan
Hak Asasi Manusia untuk mengesahkan dan menyelesaikan berbagai surat
perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya. Apa yang diperjanjikan dan
dinyatakan di dalam akta itu adalah benar, seperti apa yang diperjanjikan dan
dinyatakan oleh para pihak, sebagai yang dilihat, didengar oleh notaris,
terutama benar mengenai tanggal akta, tanda tangan di dalam akta, identitas
yang hadir sebagai penghadap dan tempat akta itu dibuat.
2.2 Tugas dan Wewenang Notaris
Tugas utama seorang notaris berada pada
ranah hukum privat, membuat akta atau perjanjian antar anggota masyarakat, atau
masyarakat dengan pemerintah. Misalnya dalam bidang agraria, kekeluargaan, dan
perkawinan. Inti dari tugas notaris bila dilihat dari Undang-Undang Jabatan Notaris adalah
membuat akta otentik, melegalisasi akta dibawah tangan dan membuat grosse akta
serta berhak mengeluarkan salinan atau turunan akta kepada pihak yang
berkepentingan.
Sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris, notaris memiliki tanggung jawab
yang sangat erat kaitannya dengan tugas dan pekerjaan notaris, karena selain untuk
membuat akta otentik notaris juga ditugaskan dan bertanggung jawab untuk
melakukan pendaftaran dan mensyahkan (waarmerken dan legalisasi)
surat-surat/akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Pasal 1 dan Pasal 15 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menegaskan bahwa Tugas pokok dari notaris adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan
diberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya menjadi suatu pembuktian yang sempurna. Hal
ini dapat dilihat
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Suatu akta
otentik memberikan kepastian hukum diantara para pihak berserta ahli waris ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.
Dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris S 1860 Nomor 3 disebutkan bahwa
tugas notaris bukan hanya membuat akta, tetapi juga menyimpannya dan menerbitkan
grosse, membuat salinan dan ringkasannya. Notaris hanya mengkonstantir
apa yang terjadi dan apa yang dilihat, di dalamnya serta mencatatnya dalam akta.
Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta otentik dalam arti verlijden,
yaitu menyusun, membacakan dan menandatangani dalam arti membuat
akta dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang sebagaimana yang dimaksud
oleh Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga berdasarkan ketentuan terdapat dalam Pasal
16 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yaitu Adanya kewajiban
terhadap notaris untuk memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Notaris juga memberikan nasehat hukum
dan penjelasan mengenai ketentuan Undang Undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
Notaris diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang
tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar.
Menurut G.H.S.
Lumban Tobing wewenang utama notaris
yaitu untuk membuat akta otentik. Otentisitas dari akta notaris bersumber dari
Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris dimana notaris dijadikan sebagai pejabat umum,
sehingga akta yang dibuat oleh notaris karena kedudukannya tersebut memperoleh
sifat sebagai akta otentik.
Dan kewenangan notaris ini meliputi
4 hal, yaitu:
1) Notaris harus berwenang sepanjang
yang menyangkut akta yang dibuatnya itu.
2) Notaris harus berwenang sepanjang
mengenai orang -orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
3) Notaris harus berwenang sepanjang
mengenai tempat, dimana akta itu dibuat.
4) Notaris harus berwenang sepanjang
mengenai waktu pembuatan akta itu.
Menurut Habib Adji, kewenangan notaris dibagi menjadi 3 bagian, yaitu seperti yang
tercantum dalam Pasal 15 Ayat (1) sampai dengan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yang dapat dibagi menjadi:
1)
Kewenangan umum notaris
Secara umum kewenangan
notaris terletak pada Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang menegaskan bahwa aalah
satu kewenangan notaris yaitu membuat akta secara umum yaitu, notaris berwenang
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
2)
Kewenangan khusus notaris
Kewenangan
notaris ini dapat dilihat dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang mengatur mengenai
kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti :
a.
mengesahkan tanda tangan dan
menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b.
membukukan surat di bawah tangan
dengan mendaftar dalam buku khusus;
c.
membuat kopi dari asli surat di
bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d.
melakukan pengesahan kecocokan
fotokopi dengan surat aslinya;
e.
memberikan penyuluhan hukum
sehubungan dengan pembuatan akta;
f.
membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan;
g.
membuat akta risalah lelang.
3) Kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian
Menurut Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris, selain kewenangan sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) dan Ayat (2), notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dalam dengan kewenangan yang
akan ditentukan kemudian tersebut adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga negara (pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat) atau pejabat negara yang berwenang dan mengikat secara umum. Dengan batasan
seperti ini, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk
undang-undang dan bukan di bawah undang-undang.
Namun
ada juga wewenang notaris untuk membuat akta otentik menjadi wewenang atau pejabat instansi
lain seperti:
a.
Akta pengakuan anak diluar
kawin (Pasal 281 KUHS).
b.
Akta berita acara tentang
kelalaian penyimpan jabatan hipotik (Pasal 1127 KUHS).
c.
Akta berita acara tentang
penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi (Pasal 1405 dan Pasal 1406 KUHS).
d.
Akta protes wesel dan cek
(Pasal 143 dan 218 KUHD).
e.
Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan (Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan)
f.
Membuat akta risalah lelang
(Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 338/ KMK.01/
2000).
Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh notaris hanya diperkenankan
untuk menjalankan jabatannya di daerah yang telah ditentukan dan ditetapkan
dalam Undang-Uundang Jabatan Notaris dan di dalam daerah hukum tersebut notaris
mempunyai wewenang. Apabila ketentuan itu tidak diindahkan, akta yang dibuat
oleh notaris menjadi tidak sah. Adapun wewenang yang dimiliki oleh notaris
meliputi empat (4) hal yaitu sebagai berikut :
a. Notaris harus berwenang
sepanjang yang menyangkut akta itu dibuat;
b. Notaris harus berwenang
sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat;
c. Notaris harus berwenang
sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat;
d. Notaris harus berwenang
sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Perbuatan hukum yang tertuang dalam suatu akta notaris bukanlah
perbuatan hukum dari notaris, melainkan perbuatan hukum yang memuat perbuatan,
perjanjian dan penetapan dari pihak yang meminta atau menghendaki perbuatan
hukum mereka dituangkan pada suatu akta otentik. Jadi pihak-pihak dalam akta
itulah yang terikat pada isi dari suatu akta otentik. Notaris bukan tukang
membuat akta atau orang yang mempunyai pekerjaan membuat akta, tetapi notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya didasari atau dilengkapi berbagai ilmu
pengetahuan hukum dan ilmu-ilmu lainnya yang harus dikuasai secara terintegrasi
oleh notaris dan akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris mempunyai
kedudukan sebagai alat bukti.
Sebagai pejabat umum notaris berwenang membuat akta otentik. Sehubungan
dengan kewenangannya tersebut notaris dapat dibebani tanggung jawab atas
perbuatannya/pekerjaannya dalam membuat akta otentik. Tanggung jawab notaris
sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi notaris itu sendiri yang
berhubungan dengan akta, diantaranya:
a. Tanggung jawab notaris secara
perdata atas akta yang dibuatnya dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap
kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan hukum. Perbuatan
melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif, dalam artian
melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif,
dalam artian tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak
lain menderita kerugian.
Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya perbuatan melawan
hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan
hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar
undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain
dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum
apabila perbuatan tersebut :
1)
Melanggar hak orang lain;
2)
Bertentangan dengan aturan hukum;
3)
Bertentangan dengan kesusilaan;
4)
Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta
orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari.
b. Tanggung jawab notaris secara pidana atas akta yang
dibuatnya. Pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh
seorang notaris dalam kepastian sebagai pejabat umum yang berwenang membuat
akta, bukan dalam konteks individu sebagai warga negara pada umumnya.
Unsur-unsur dalam perbuatan pidana meliputi :
1)
Perbuatan manusia;
2)
Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas
legalitas, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak
atau belum dinyatakan dalam undang-undang);
3)
Bersifat melawan hukum;
4)
Tanggung jawab notaris berdasarkan UUJN;
5)
Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
kode etik notaris. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris tentang sumpah jabatan notaris.
Notaris harus menjalankan jabatannya sesuai dengan kode etik notaris,
yang mana dalam melaksanakan tugasnya notaris itu diwajibkan :
a. Senantiasa menjunjung tinggi
hukum dan asas negara serta bertindak sesuai makna sumpah jabatannya,
b. Mengutamakan pengabdiannya
kepada kepentingan masyarakat dan negara.
Untuk itu notaris harus berhati-hati dalam membuat akta agar tidak
terjadi kesalahan atau cacat hukum. Karena akta yang dibuat notaris harus dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat dan tidak luput dari penilaian hakim. Rumusan pasal dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris tidak menjelaskan tentang
tanggungjawab notaris terhadap akta yang dibuatnya. Namun dalam Pasal 16 Ayat
(1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dikatakan bahwa dalam
menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban bertindak jujur, seksama, mandiri,
tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan
hukum. Dari ketentuan pasal tersebut di atas tergambar kewajiban notaris untuk
bertindak seksama dalam arti berhati-hati dan teliti dalam menjalankan tugasnya.
Menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum mewajibkan notaris
menjalankan prosedur yang semestinya dalam proses pembuatan akta agar tidak ada
pihak yang dirugikan atas akta tersebut.
2.3 Perlindungan Hukum Terhadap Notaris
Perlindungan hukum merupakan unsur yang harus ada dalam suatu negara.
Setiap pembentukan negara pasti di dalamnya ada hukum untuk mengatur warga
negaranya. Dalam suatu negara, terdapat hubungan antara negara dengan warga
negaranya. Perlindungan hukum menjadi unsur esensial serta menjadi konsekuensi
dalam negara hukum, bahwa negara wajib menjamin hak-hak hukum warga negaranya. Hubungan
inilah yang melahirkan hak dan kewajiban. Perlindungan hukum akan menjadi hak
bagi warga negara, namun di sisi lain perlindungan hukum menjadi kewajiban bagi
negara. Negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya, sebagaimana
di Indonesia yang mengukuhkan dirinya sebagai negara hukum yang tercantum di
dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berbunyi, Indonesia adalah negara hukum. Perlindungan hukum merupakan
suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum (dari tindakan
sewenang-wenang seseorang) dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat
preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis.
Perlindungan hukum merupakan suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu bahwa
hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan
kedamaian.
Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat
terhadap suatu tindakan pemerintah dapat bersifat preventif dan represif, yaitu
sebagai berikut :
a) Perlindungan hukum yang
bersifat preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang
mengarahkan tindakan pemerintah untuk bersikap hati-hati dalam pengambilan
keputusan berdasarkan kewenangan. Dalam hal ini notaris sebagai pejabat umum
harus berhati-hati dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kewenangan
yang diberikan negara kepadanya untuk membuat suatu akta otentik guna menjamin kepastian
hukum bagi masyarakat.
b) Perlindungan hukum yang
bersifat represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk
penanganannya di lembaga peradilan. Dalam hal ini, dengan begitu banyaknya akta
otentik yang dibuat oleh motaris, tidak jarang notaris tersebut dipermasalahkan
oleh salah satu pihak atau pihak lainnya karena dianggap telah merugikan kepentingannya,
baik itu dengan pengingkaran akan isi akta, tanda tangan maupun kehadiran pihak
dihadapan notaris.
Perlindungan hukum harus berdasarkan atas suatu ketentuan dan aturan hukum
yang berfungsi untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan,
dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan
kewajiban, tidak terkecuali bagi seorang notaris. Notaris sebagai pejabat
umum dalam menjalankan jabatannya perlu diberikan perlindungan hukum, antara
lain pertama, untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat
jabatannya termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan
dan persidangan. Kedua, menjaga minuta atau surat-surat yang dilekatkan pada
minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris. Ketiga,
merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta. Rahasia yang wajib
disimpan ini dikenal dengan sebutan rahasia jabatan. Jabatan notaris dengan
sendirinya melahirkan kewajiban untuk merahasiakan itu, baik yang menyangkut
isi akta ataupun hal-hal yang disampaikan klien kepadanya, tetapi tidak dimuat
dalam akta, yakni untuk hal-hal yang diketahuinya karena jabatannya.
Notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik, jika terjadi kesalahan
baik disengaja maupun karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain akibat
dibuatnya akta menderita kerugian, yang berarti notaris telah melakukan
perbuatan melanggar hukum. Jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh notaris
dapat dibuktikan, maka notaris dapat dikenakan sanksi berupa ancaman
sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang
menyatakankan bahwa Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf i, Pasal 16 Ayat
(1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 atau
Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat
menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian
biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris. Ganti rugi atas dasar perbuatan
melanggar hukum di dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang
menyebutkan, Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
menggantikan kerugian tersebut.
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menentukan
adanya sanksi perdata, jika notaris melakukan perbuatan melawan hukum atau
pelanggaran terhadap Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris maka akta notaris hanya akan mempunyai
pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Akibat dari akta notaris yang seperti
itu, maka dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris.
Perihal kesalahan dalam perbuatan melanggar hukum, dalam hukum perdata
tidak membedakan antara kesalahan yang ditimbulkan karena kesengajaan pelaku,
melainkan juga karena kesalahan atau kurang hati-hatinya pelaku. Notaris yang membuat akta
tidak sesuai dengan wewenangnya dapat terjadi karena kesengajaan maupun karena
kelalaiannya, yang berarti telah salah sehingga unsur harus ada kesalahan telah
terpenuhi. Notaris dapat dimintakan pertanggung jawabannya apabila terdapat
unsur kesalahan yang dilakukannya dan perlu diadakannya pembuktian terhadap
unsur-unsur kesalahan yang dibuat oleh notaris tersebut, yaitu meliputi:
a) Hari, tanggal, bulan, dan
tahun menghadap;
b) Waktu (pukul) menghadap;
c) Tanda tangan yang tercantum
dalam minuta akta.
Akta notaris yang batal demi hukum tidak dapat dimintakan untuk
memberikan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Penggantian biaya, ganti
rugi dan bunga dapat digugat kepada notaris dengan mendasarkan pada hubungan
hukum notaris dengan para pihak yang menghdap notaris. Apabila ada pihak yang
merasa dirugikan dari akta yang dibuat oleh notaris, maka yang bersangkutan
dapat secara langsung mengajukan tuntutan secara perdata terhadap notaris
tersebut sehingga notaris tersebut dapat bertanggung jawab secara perdata atas
akta yang dibuatnya. Tuntutan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga terhadap
notaris, tidak didasarkan pada kedudukan alat bukti yang berubah karena melanggar
ketentuan-ketentuan tertentu dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, tetapi didasarkan kepada
hubungan hukum yang terjadi antara notaris dan para pihak yang menghadap notaris
tersebut. Notaris tersebut tetap harus bertanggung jawab secara perdata
terhadap akta yang pernah dibuatnya.
Perihal kerugian dalam perbuatan melanggar hukum secara perdata notaris
dapat dituntut untuk menggati kerugian-kerugian para pihak yang berupa kerugian
materiil dan dapat pula berupa kerugian immaterial. Kerugian dalam bentuk
materiil, yaitu kerugian yang jumlahnya dapat dihitung, sedangkan kerugian
immaterial, jumlahnya tidak dapat dihitung, misalnya nama baiknya tercemar,
mengakibatkan kematian. Dengan adanya akta yang dapat dibatalkan atau batal
demi hukum, mengakibatkan timbulnya suatu kerugian, sehingga unsur harus ada
kerugian telah terpenuhi. Gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melanggar
hukum apabila pelaku melakukan perbuatan yang memenuhi keseluruhan unsur Pasal
1365 KUHPerdata, mengenai siapa yang diwajibkan untuk membuktikan adanya
perbuatan melanggar hukum. Perlindungan hukum terhadap notaris dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya telah diatur dan dituangkan dalam Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang
diberitahukan para pihak kepada notaris. Notaris mempunyai kewajiban menerapkan
apa yang termuat dalam akta notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai
dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya, sehingga isi dari
akta notaris menjadi jelas. Jadi, dengan demikian
para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui
isi akta notaris yang akan ditandatanganinya. Akta otentik yang dibuat oleh notaris
tidak jarang dipermasalahkan oleh salah satu pihak atau oleh pihak lain karena
dianggap merugikan kepentingannya, baik itu dengan tidak sesuainya bentuk akta,
pengingkaran akan isi akta, tandatangan maupun kehadiran pihak di hadapan notaris,
bahkan adanya dugaan dalam akta otentik tersebut ditemukan keterangan palsu.
Berkaitan dengan perlindungan hukum notaris terhadap akta-akta yang dibuatnya
terkait pertanggungjawaban notaris secara perdata, dengan adanya ketidak hati-hatian
dan kesungguhan yang dilakukan notaris, sebenarnya notaris telah membawa dirinya
pada suatu perbuatan yang oleh undang-undang harus dipertanggungjawabkan. Jika suatu
kesalahan yang dilakukan oleh notaris dapat dibuktikan, maka notaris dapat dikenakan
sanksi berupa ancaman sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum tidak jarang notaris berurusan
dengan proses hukum baik ditahap penyelidikan, penyidikan maupun persidangan.
Pada proses hukum ini notaris harus memberikan keterangan dan kesaksian
menyangkut isi akta yang dibuatnya. Hal ini bertentangan dengan sumpah jabatan
notaris, bahwa notaris wajib merahasiakan isi akta yang dibuatnya. Pada
beberapa undang-undang, telah memberikan hak ingkar atau hak untuk dibebaskan
menjadi saksi.
Sumpah jabatan notaris dalam Pasal 4 dan kewajiban notaris dalam Pasal 16
Ayat (1) huruf (e) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
mewajibkan notaris untuk tidak berbicara, sekalipun dimuka pengadilan, artinya
seorang notaris tidak diperbolehkan untuk memberikan kesaksian mengenai apa
yang dimuat dalam akta. Notaris tidak hanya
berhak untuk bicara, akan tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak berbicara. Hal
tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 16 Ayat (1) huruf (f) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Merahasiakan
segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang
diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan.
Kewajiban ini mengesampingkan kewajiban umum untuk memberikan kesaksian yang
dimaksud dalam Pasal 1909 Ayat (2) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa :
Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian
:
a)
siapa yang bertalian kekeluargaan darah dalam garis samping dalam derajat
kedua atau semenda dengan salah satu pihak.
b)
siapa yang ada pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis
samping dalam derajat kedua dengan suami atau isteri salah satu pihak.
c)
segala pekerjaannya atau jabatannya menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan
sesuatu namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya
dipercayakan kepadanya sebagai demikian.
Dasar filosofi hak ingkar bagi jabatan-jabatan kepercayaan terletak pada
kepentingan masyarakat, agar apabila seseorang yang berada dalam keadaan kesulitan,
dapat menghubungi seseorang kepercayaan untuk mendapatkan bantuan yang
dibutuhkannya di bidang yuridis, medis atau kerohanian dengan keyakinan bahwa
ia akan mendapat nasehat-nasehat, tanpa merasa dirugikan. Notaris sebagai jabatan
kepercayaan dan oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu
kepadanya sebagai seorang kepercayaan. Notaris berkewajiban untuk merahasiakan
semua apa yang diberitahukan kepadanya selaku notaris, sekalipun ada sebagian
yang tidak dicantumkan dalam akta, notaris tidak dapat dengan bebas
mengungkapkan semua hal yang berkaitan dengan proses pembuatan akta, karena hal
tersebut akan mengakibatkan notaris kehilangan kepercayaan publik dan ia tidak
lagi dianggap sebagai seorang kepercayaan.
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap notaris diatur dalam Pasal 66
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Pasal 66A Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris ini mengatur mengenai dibentuknya
Majelis Kehormatan Notaris yang beranggotakan perwakilan notaris, pemerintah dan
akademisi, yang berfungsi sebagai lembaga perlindungan hukum bagi jabatan notaris
terkait dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapannya. Pasal 66 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang memberikan
kewenangan kepada Majelis Kehormatan Notaris maupun pemberi perlindungan hukum
terhadap notaris penjabarannya diatur lebih lanjut secara normatif dalam
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.03.HT.10 Tahun 2007 tentang
Pengambilan Minutan Akta dan Pemanggilan Notaris, di mana diatur kriteria umum
yaitu :
1) Syarat pemanggilan notaris
guna pemeriksaan sebagai saksi atau tersangka yaitu:
a)
adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat
yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan
notaris
b)
belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tenang daluwarsa dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pidana.
2) Syarat pengambilan copy minuta
akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol
notaris dalam penyimpanan notaris yaitu :
a)
adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat
yang dilekatkan pada minut akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris
b)
belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam
peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
3) Syarat pengambilan minuta akta
surat-surat yang dilekatkan pada minuta atau protokol notaris dalam penyimpanan
notaris yaitu :
a)
adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat yang
dilekatkan pada minuta akta atau prokotol notaris dalam penyimpanan notaris
b)
belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pidana
c)
ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak
d)
ada dugaan pengurangan atau penambahan dari minuta akta
e)
ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta (antidatum)
Menurut Pasal 1869 KUHPerdata, akta otentik dapat terdegradasi menjadi kekuatan
pembuktian dibawah tangan bahkan dapat dibatalkan, dengan alasan:
a) notaris dalam membuat akta tersebut tidak berwenangan
b) tidak mempunyai pejabat umum yang mampu untuk membuat akta itu
c) cacat dalam bentuknya atau karena akta notaris
dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ketiga hal
tersebut dapat menjadi dasar untuk menggugat notaris sebagai perbuatan melawan hukum. Kedudukan akta
notaris sebagai akta dibawah tangan/batal
demi hokum tidak berdasarkan akta notaris, karena
tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif dalam hal ini:
a) Undang-Undang Jabatan Notaris telah menentukan syarat-syarat tersebut
b) notaris
telah tidak cermat,tidak teliti dan tidak tepat dalam menerapkan aturan hukum
yang berkaitan pelaksanaan tugas jabatan notaris, maupun
berkaitan dengan isi akta
Dalam hal
ini, dapat dilakukan tuntutan kepada notaris
berdasarkan adanya:
a) hubungan hukum yang khas antara notaris dengan para penghadap dengan bentuk sebagai
perbuatan melawan hukum
b) ketidakcermatan, ketidaktelitian, dan ketiktepatan dalam:
a.
teknik
administrasi membuat akta berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris;
b.
penetapan
berbagai aturan hukum yang tidak didasarkan kepada kemampuan menguasai keilmuan
bidang notaris secara khusus dan hukum pada umumnya.
Dalam
praktik sekarang ini banyak ditemukan kenyataan, ketika seorang notaris oleh MKN tidak di izinkan untuk memenuhi panggilan
penyidik, penuntut umum, atau hakim, maka (khususnya penyidik dari kepolisian)
akan berupaya untuk mencari cara atau celah lain dengan maksud untuk memperoleh
kebenaran materil, dan yang dilakukan oleh penyidik, yaitu memanggil
saksi-saksi akta atau membidik saksi-saksi yang tersebut dalam akhir akta,
dengan keterangan yang diperoleh dari saksi akta tersebut, berharap dapat
memeriksa notaris yang bersangkutan atau terkadang dibalik para saksi akta
dipanggil terlebih dahulu, setelah mendapat keterangan dari para saksi tersebut,
berharap dapat memeriksa notaris. Adapun untuk menyatakan notaris diberikan sanksi perdata, haruslah dibuktikan
terlebih dahulu:
a) adanya diderita kerugian;
b) antara kerugian yang diderita dan pelanggaran/kelalaian
dari notaris terdapat hubungan. kausal;
c) pelanggaran/kelalaian tersebut disebabkan kesalahan
yang dapat dipertanggung jawab kepada notaris
yang bersangkutan.
Harus juga
diperhatikan, adanya yurisprudensi Mahkamah Agung (MA), Putusan MA No.702K/Sip/1973 yang menyatakan notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan apa yang
dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi notaris
untuk menyelidiki secara materil apapun yang
dikemukakan oleh penghadap dihadapan notaris tersebut. Berdasarkan
putusan MA tersebut, jika akta yang dibuat dihadapan/oleh notaris bermasalah oleh para pihak sendiri, maka hal tersebut menjadi urusan para pihak
sendiri, notaris tidak perlu dilibatkan dan notaris
bukan pihak dalam akta.
Notaris
dapat menjadi tergugat tunggal apabila
para pihak melakukan pengingkaran:
a) hari,tanggal,bulan,tahun menghadap
b) waktu, pukul
menghadap
c) Tanda tangan
yang tercantum dalam minuta
d) Mmrasa
tidak pernah menghadap
e) akta tidak ditanda tangani didepan notaris
f) akta tidak dibacakan
g) alasan lain berdasarkan formalitas akta.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas hendaknya para pihak, wajib
membuktikannya. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menyatakan
apabila ada notaris yang diduga terlibat masalah hukum terkait dengan akta yang
dibuat oleh atau dihadapannya, maka penyidik, penuntut umum, maupun hakim
ketika memanggil notaris tersebut, harus mendapatkan persetujuan terlebih
dahulu dari MKN. Sebagaimana termuat dalam Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yaitu, untuk kepentingan proses peradilan,
penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan MKN berwenang:
a) mengambil fotokopi minuta akta
dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris
dalam penyimpanan notaris;
b) memanggil notaris untuk hadir
dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta atau protokol notaris yang berada
dalam penyimpanan notaris.
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris perubahan tersebut dapat diketahui
bahwa penyidik, penuntut umum maupun hakim hanya diperkenankan untuk mengambil:
1) Foto kopi minuta akta dan/atau
surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan
notaris;
2) Penyidik, penuntut umum,
maupun hakin, tidak diperkenankan atau tidak dibenarkan mengambil minuta akta
dan/atau surat-surat asli yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris
dalam penyimpanan notaris.
Pemanggilan notaris oleh penyidik, penuntut umum, maupun hakim untuk
hadir dalam pemeriksaan suatu perkara perdata harus memerlukan persetujuan dari
MKN, karena pada saat ini MKN merupakan lembaga perlindungan hukum bagi notaris,
apabila nanti ada notaris yang diduga melakukan kesalahan atau pelanggaran
dalam hal pembuatan akta. Dengan demikian akan lebih terjamin apabila segala
tindakan pemanggilan, pemeriksaan dan penahanan itu dilakukan setelah ada izin
dari organisasi profesi yang memeriksanya terlebih dahulu, sehingga pada akhirnya
akan tercipta kepastian hukum bagi masyarakat sesuai asas kepercayaan yang
mendasari weewenang notaris.
Kedudukan MKN dalam memberikan suatu perlindungan hukum bagi notaris terhadap
akta-akta yang dibuatnya terkait pertanggungjawaban notaris secara perdata merupakan
suatu lembaga yang bersifat independen, karena dalam hal ini keberadaan MKN tidak
merupakan sub bagian dari pemerintah yang mengangkatnya. MKN dalam menjalankan
kewenangannya mengeluarkan suatu keputusan tidak dipengaruhi oleh pihak atau
lembaga lainnya, sehingga dalam hal ini keputusan yang dihasilkan oleh MKN ini
tidak dapat diganggu gugat.
Berdasarkan hal-hal diatas maka dapat diketahui bahwa perlindungan hukum
bagi notaris terhadap akta-akta yang dibuatnya terkait pertanggungjawaban notaris
secara perdata ialah pemanggilan notaris oleh penyidik, penuntut umum dan hakim
harus dilakukan dengan mendapatkan persetujuan MKN.
Pentingnya perlindungan hukum bagi notaris adalah untuk:
1) Menjaga keluhuran harkat dan
martabat jabatannya, termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam
pemeriksaan dan persidangan;
2) Merahasiakan keterangan akta
guna menjaga kepentingan para pihak yang terkait didalam akta tersebut;
3) Menjaga minuta atau
surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta, serta protokol notaris dalam
penyimpanannya.
Keberadaan MKN diharapkan dapat memberikan kontribusi hukum yang optimal
bagi institusi notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga perlindungan hukum.
Mengenai pengaturan tentang kedudukan serta bentuk perlindungan hukum dari MKN
ini sebetulnya belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris maupun dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang
lain. Kedudukan MKN dalam
memberikan suatu perlindungan hukum bagi notaris merupakan suatu lembaga yang
bersifat independen, karena dalam hal ini keberadaan MKN tidak merupakan sub
bagian dari pemerintah yang mengangkatnya. MKN dalam menjalankan kewenangannya
mengeluarkan suatu keputusan tidak dipengaruhi oleh pihak atau lembaga lainnya,
sehingga dalam hal ini keputusan yang dihasilkan oleh MKN ini tidak dapat
diganggu gugat.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris telah
memberikan suatu penegakan hukum atas tindakan kesewenang-wenangan para penegak
hukum terhadap notaris. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 66 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dengan adanya MKN,
sebagai lembaga perlindungan hukum bagi notaris yang berfungsi melakukan
pemerikasaan awal dalam sidang organisasi notaris untuk memberikan persetujuan
atau penolakan kepada penyidik dari kepolisian, jaksa, maupun hakim yang
memanggil notaris untuk diperiksa dalam proses peradilan. Selain itu MKN juga
berwenang melakukan pembinaan terhadap notaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pejabat umum.
3.1 Pendekatan Masalah
a. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan yuridis
normatif ini yaitu pendekatan melalui studi kepustakaan,
studi komparatif dan studi dokumen dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah
kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan
dibahas. Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan berbagai macam
peraturan Perundang-undangan, teori-teori, dan literatur-literatur yang erat
hubungannya dengan masalah dan
pembahasan pada penelitian ini.
b. Pendekatan Empiris
Pendekatan yang dilakukan melalui penelitian
secara langsung terhadap objek penelitian dengan cara observasi dan wawancara.
3.2
Sumber Dan Jenis Data
3.2.1 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini
bersumber dari penulisan kepustakaan (library
research) dan penelitian lapangan (field
research).
3.2.2
Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan
adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi
kepustakaan (library research) terhadap
bahan-bahan hukum, asas-asas hukum, peraturan-peraturan dengan cara membaca,
mengutif, menyalin dan menganalisis. Selanjutnya data sekunder mencakup
dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan
dan sebagainya.
Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) macam bahan
hukum, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang
bersifat mengikat berupa Peraturan Perundang-undangan, peraturan dasar, norma
atau kaidah dasar bahan hukum yang tidak dikodifikasi
b. Bahan Hukum Sekunder adalah Bahan hukum yang diambil dari literatur yang berkaitan dengan pokok
permasalahan, karya-karya ilmiah, dan hasil-hasil penelitian para pakar sesuai
dengan objek pembahasan penelitian.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, seperti kamus (hukum), Ensiklopedia.
3.3
Prosedur Pengumpulan Data Pengolahan Data
3.3.1
Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
studi kepustakaan (library research).
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara
mengadakan studi kepustakaan (library research), studi komperatif, dan
studi dokumen. Studi ini dimaksudkan untuk memperoleh arah pemikiran dan tujuan
penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mengutip dan
menelaah literatur-literatur yang menunjang, peraturan perundang-undangan serta
bahan-bahan bacaan ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan
yang akan dibahas.
3.3.2 Prosedur Pengolahan Data
Setelah data terkumpul baik data sekunder maupun
data primer langkah selanjutnya adalah melakukan kegiatan pengolahan data,
yaitu kegiatan merapihkan data dari hasil pengumpulan data di lapangan sehingga
siap untuk dianalisis. Kegiatan ini meliputi kegiatan seleksi data dengan cara
memeriksa data yang diperoleh mengenai kelengkapannya, klasifikasi data atau
pengelompokan data secara sistematis. Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan
sebagai berikut :
a. Seleksi Data
Yaitu memeriksa dan memilih data yang
sesuai dengan objek yang akan dibahas, juga dengan mempelajari dan menelaah
data yang diperoleh dari hasil penelitian.
b. Klasifikasi Data
Yaitu penyusunan data dilakukan dengan
cara mengklasifikasikan, menggolongkan dan mengelompokan menurut pokok bahasan
dengan tujuan mempermudah menganalisis data yang telah ditentukan.
Posting Komentar untuk "Perlindungan Hukum terhadap Notaris "