Sejarah Makalah Ideologi Muhammadiyah
Setiap
organisasi tidak dapat dipisahkan dari pendirinya. Demikian pula Muhammadiyah.
Ia tidak dapat dipisahkan dari K.H.Ahmad Dahlan dalam mengambil keputusan mendirikan
Persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912, itu dengan maksud
agar gagasan dan pokok-pokok pikiran beliau dapat diwujudkan melalui
Persyarikatan yang beliau dirikan itu. Beliau menyadari bahwa gagasan dan
pokok-pokok pikiran itu tidak mungkin dapat diwujudkan oleh seorang secara
sendiri-sendiri termasuk oleh beliau sendiri, tetapi harus oleh sekelompok
orang secara bersama-sama dan bekerja sama. Secara garis besar, pokok-pokok pikiran
formal itu dapat dikelompokkan menjadi dua jenis pokok pikiran, yaitu pokok
pikiran yang bersifat ideologis dan pokok-pokok pikiran yang bersifat
strategis. Pokok-pokok pikiran yang dapat dikategorikan sebagai pokok pikiran
yang bersifat ideologis.
Muhammadiyah adalah suatu persyarikatan yang
merupakan “Gerakan Islam”. Maksud geraknya ialah, “Da’wah Islam & amar
ma'ruf nahi munkar” yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan
masyarakat. Da’wah dan amar ma'ruf nahi munkar pada bidang yang pertama terbagi
kepada dua golongan: kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid),
yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran Islam yang asli murni; dan yang kedua
kepada yang belum Islam bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam.
Dalam
keputusan tanwir tentang kristalisasi ideologi dan khittah Muhammadiyah
tersebut dinyatakan pokok pokok pikiran yang bersifat subtansi dari ideologi
Muhmmadiyah. Termasuk didalamnya mengapa kader harus paham akan ideologi
Muhammadiyah dan pandangan muhammadiyah terhadap keberadaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.diharapkan kader Muhammadiyah setelah memahami ideologi
Muhammadiyah bisa membedakan dengan ideologi lain sekaligus dapat mengaktualkan
diridan memasyarakatkannya baik di dalam maupun ke luar.
Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri
sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat
menyebarluaskan ajaran
Agama Islam
sebagaimana
yang tercantum
dalam Alquran dan Assunah, sekaligus memebersihkan berbagai amalan umat yang
terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah.
Muhammadiyah
sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah
barang tentu ada
kesamaaan nafas,
yaitu memerangi secara total berbagai
penyimpangan ajaran Islam seperti syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid,
sbab semua itu merupakan
benalu yang dapat
merusak akidah dan
ibadah
seseorang. Sifat Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak
hanya sebatas
pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari
berbagai kotoran
yang menempel
pada tubuhnya,
melainkan juga
termasuk upaya
Muhammadiyah melakukan
berbagai
pembaharuan
cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat,
semacam
memperbaharui
cara penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan
terhadap fakir miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah
sakit, pelaksanaan sholat Id dan pelaksanaan kurba dan
sebagainya.
Untuk membedakan antara keduanya maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi
(purification) dan
tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation). Dalam
hubungan dengan
salah satu
ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka
Muhammadiyah dapat
dinyatakan
sebagai Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.[1]
Secara etimologis ideologi yang dibentuk dari kata idea, berarti
pemikiran, konsep, atau gagasan, dan logoi, logos artinya pengetahuan.
Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang
keyakinan atau gagasan. Orang yang pertama kali menggunakan istilah ideologi
adalah Antoine Destult, seorang filosuf Prancis, sebagai “science of ideas,
dimana di dalamnya ideologi dijabarkan sebagai sejumlah program yang diharapkan
membawa perubahan institusional dalam suatu masyarakat”. Dalam aplikasinya ada
beberapa tokoh yang memandang ideologi secara negative. Namun sesungguhnya
istilah ideologi itu bersifat netral, tidak memihak kemanapun.[2]
Adapun pengertian Ideologi menurut beberapa ahli
adalah sebagai berikut:
Istilah ideology pertama kali dikemukakan oleh destut
de Tracy tahun 1796 yang berarti suatu program yang diharapkan dapat membawa
suatu perubahan institusional dalam masyarakat Perancis.
Ajaran atau ilmu pengetahuan yang secara sistematis
dan menyeluruh membahas mengenai gagasan, cara-cara, angan-angan (baca:
cita-cita–Penulis) atau gambaran dalam pikiran, untuk mendapatkan keyakinan mengenai
hidup dan kehidupan yang benar dan tepat; berarti pula keyakinan hidup.
Membangun komitmen idealisme untuk menjalankan misi
dan cita-cita gerakan
Ideologi-ideologi yang berbasis agama memiliki akar pada teologi dari
agama-agama yang bersangkutan. Di lingkungan umat Islam dikenal ideologi Islam,
yang memiliki keterkaitan dengan karakter Islam sebagai agama. Ideologi Islam
berbeda dengan Marxisme, Sosialisme dan Kapitalisme, maupun Ideologi lainnya
yang tidak memiliki basis teologis. Pandangan tentang kebebasan, pesaudaraan,
kesamaan, kemanusiaan dan relasi-relasi social dalam Ideologi Islam memiliki
basis pada pandangan filosofis tentang teologi Islam, sehingga memiliki pijakan
yang kokoh.
Aqidah Islam menurut Muhamadiyah dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari
gerakannya. Formulasi aqidah yang dirumuskan dengan merujuk langsung kepada
suber utama ajaran Islam itu disebut ‘aqidah shahihah, yang menolak segala
bentuk campur tangan pemikiran teologis. Karakteristik aqidah Muhammadiyah itu
secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut: nash sebagai dasar rujukan.
Semangat kembali kepada Alquran dan Sunnah sebenarnya sudah menjadi tema umum
pada setiap gerakan pembaharuan. Karena diyakini sepenuhnya bahwa hanya dengan
berpedoman pada kedua sumber utama itulah ajaran Islam dapat hidup dan
berkembang secara dinamis. Muhammadiyah juga menjadikan hal ini sebagai tema sentral
gerakannya, lebih-lebih dalam masalah ‘aqidah, seperti dinyatakan: “Inilah
pokok-pokok aqidah yang benar itu, yang terdapat dalam Alquran dan dikuatkan
dengan pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir. “Berdasarkan pernyataan di atas,
jelaslah bahwa sumber aqidah Muhammadiyah adalah alquran dan Sunnah yang
dikuatkan dengan berita-berita yang mutawatir”. Ketentuan ini juga dijelaskan
lagi dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai berikut: (5) Di dalam masalah
aqidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir, (6) Dalil-dalil umum
Alquran dapat ditakhsis dengan hadits ahad, kecuali dalam bidang aqidah, (16)
dalam memahami nash, makna zhahir didahulukan daripada ta’wil dalam bidang
aqidah dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.
Ketentuan-ketentuan di atas jelas menggambarkan bahwa secara tegas aqidah
Muhammadiyah bersumber dari Alquran dan Sunnah tanpa interpretasi filosofis
seperti yang terdapat dalam aliran-aliran teologi pada umumnya. Sebagai
konsekuensi dari penolakannya terhadap pemikiran filosofis ini, maka dalam
menghadapi ayat-ayat yang berkonotasi mengundang perdebatan teologis dalam
pemaknaannya, Muhammadiyah bersikap tawaqquf seperti halnya kaum salaf.
keterbatasan peranan akal dalam soal aqidah Muhammadiyah termasuk kelompok
yang memandang kenisbian akal dalam masalah aqidah. Sehingga formulasi posisi
akal sebagai berikut “Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak
tercapai pengertian oleh akal dalam hal kepercayaan, sebab akal manusia tidak
mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungan-Nya dengan
sifat-sifat yang ada pada-Nya.
Percaya kepada qadha’ dan qadar. Dalam Muhammdiyah qadha’ dan qadar
diyakini sebagai salah satu pokok aqidah yang terakhir dari formulasi rukun
imannya, dengan mengikuti formulasi yang diberikan oleh hadis mengenai
pengertian Islam, Iman dan Ihsan.
Muhammadiyah melarang anggotanya bersikap taqlid, yaitu sikap mengikuti
pemikiran ulama tanpa mempertimbangkan argumentasi logis. Dan sikap keberagaman
menumal yang dibenarkan oleh Muhammadiyah adalah ittiba’, yaitu mengikuti
pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasi serta mengikutinya
dengan pertimbangan logika. Di samping itu, Muhammadiyah mengembangkan ijtihad
sebagai karakteristik utama organisasi ini. Adapun pokok-pokok utama pikiran
Muhammadiyah dalam bidang hokum yang dikembangkan oleh Majlis Tarjih antara
lain:
Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah
ditetapkan. Ibadah ada dua macam, yaitu ibadah khusus, yaitu apa yang telah
ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang
tertentu, dan ibadah umum, yaitu segala perbuatan yang dibolehkan oleh Allah
dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya. Dalam bidang ibadah yang diperoleh
ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan
akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui
bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal
memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan.
Mengingat pentingnya akhlaq dalam kaitannya dengan keimanan seseorang, maka
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam juga dengan tegas menempatkan akhlaq sebagai
salah satu sendi dasar sikap keberagamaannya. Dalam Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup Muhammadiyah dijelaskan “Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan
Sunnah Rasul, tidak bersendi pada nilai-nilai ciptaan manusia. “Akhlak adalah
nilai-nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti sabar,
syukur, tawakal, birrul walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul
Mahmudah) dan sombong, takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya
(Al-Akhlaqul Madzmuham)”.[5]
Mengenai Muhammadiyah menjadikan akhlaq sebagai salah satu garis
perjuangannya, hal ini selain secara tegas dinyatakan dalam nash, juga tidak
dapat dipisahkan dari akar historis yang melatarbelakangi kelahirannya.
Kebodohan, perpecahan di antara sesama orang Islam, melemahnya jiwa santun
terhadap dhu’afa’, pernghormatan yang berlebi-lebihan terhadap orang yang
dianggap suci dan lain-lain adalah
bentuk realisasi tidak tegaknya ajaran akhlaqul karimah. Untuk menghidupkan
akhlaq yang islami, maka Muhammadiyah berusaha memperbaiki dasar-dasar ajaran
yang sudah lama menjadi keyakinan umat Islam, yaitu dengan menyampaikan ajaran
yang benar-benar berdasar pada ajaran Alquran dan Sunnah Maqbulah, membersihkan
jiwa dari kesyirikan, sehingga kepatuhan dan ketundukan hanya semata-mata
kepada Allah. Usaha tersebut ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat bodoh
dan inferoritas berangsur-angsur habis kemudian membina ukhuwah antar sesame
muslim yang disemangati oleh Surat Ali Imron ayat 103. Adapun sifat-sifat
akhlak Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
Akhlak Keseimbangan. Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di
dunia maupun di akhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun
ukhrawi secara seimbang, begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban
terhadap masyarakat, seimbang pula. (H.R. Buhkori).
Muhammadiyah dengan menggariskan Khittahnya sebenarnya
ingin menegaskan bahwa politik tidak dapat dihimpitkan dengan dakwah. Demikian
pula partai politik tidak dapat disatu-paketkan dengan organisasi dakwah.
Penghimpitan dan penyatuan politik dan dakwah sekilas tampak ideal dan akan
menghasilkan buah perjuangan yang positif tetapi jangka panjang justru
mengandung banyak masalah dan bom waktu konflik keagamaan sekaligus konflik
politik.[6]
Bagaimana
perkembangan pemikiran yang bersifat ideologis dan tuntutan akan pentingnya
ideologi dalam Muhammadiyah itu tumbuh dalam sejarah perjalanan gerakan Islam
modernis ini? Sebenarnya, secara tersirat kelahiran Muhammadiyah tahun 1912
memiliki persentuhan dengan kepentingan ideologis. Menurut K.H. M. Djindar
Tamimy[7],
kelahiran Muhammadiyah bahkan melekat dengan ”ideologi”, yakni ide dan
cita-cita tentang Islam yang melekat dalam pemikiran dan spirit gerakan dari
Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran keagamaan
Kyai Dahlan bahkan oleh Jainuri dalam disertasinya di McGill University
disimpulkan sebagai genre “ideologi reformis”[8].
Jika ideologi dikaitkan dengan sistem paham agama, dapat dinyatakan bahwa
kelahiran lembaga Tarjih tahun 1927 memiliki aspek ideologis, yakni pandangan
keagamaan dalam Muhammadiyah yang menurut Mukti Ali mengandung prinsip
kenisbian akal, tidak berorientasi pada orang atau mazhab, dan terbuka atau
toleran.[9]
Bagi
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang besar bagaimanapun memerlukan
”ideologi”, yakni sikap yang jelas terhadap “Sistem paham dan perjuangannya”,
agar gerakannya benar-benar terorganisasi dengan baik dan tidak dikacaukan oleh
paham dan kepentingan luar yang mengganggu dan merusak orientasi serta keutuhan
Muhammadiyah. Urgensi atau kepentingan ideology bagi anggota Muhammadiyah
diperlukan untuk sejumlah hal sebagai berikut: Pertama, ideologi dapat memberi arah dan penjelasan mengenai
sistem paham kehidupan yang dicandranya berdasarkan paham agama (Islam) yang
dianutnya serta bagaimana seluruh warga Muhammadiyah bertindak berdasarkan
sistem paham tersebut. Kedua,
dengan ideologi maka Muhammadiyah dapat mengikat solidaritas kolektif (ukhuwah
gerakan, dalam makna longgar ashabiyyah sebagaimana konsep Ibn Khaldun),
yang berfungsi untuk mempertahankan ikatan ke dalam dan menghadapi tantangan
hingga ancaman dari luar. Ketiga,
ideologi Muhammadiyah dapat membentuk karakter orang Muhammadiyah secara
kolektif sebagaimana tercantum dalam Kepribadian Muhammadiyah serta Pedoman
Hidup Islami Warga Muhammadiyah, yang mengandung berbagai sifat orang dan pola
tindak yang harus dimiliki dan diimplementasikan dalam kehidupan warga
Muhammadiyah. Keempat, melalui
ideologi Muhammadiyah menyusun strategi dan langkah-langkah perjuangan
sebagaimana Khittah yang selama ini menjadi acuannya, sehingga gerakannya
tersistem dan terarah dalam satu sistem gerakan Persyarikatan. Kelima, dengan ideologi maka
Muhammadiyah dapat mengorganisasikan dan memobilisasi anggota, kader, dan
pimpinnannya dalam satu sistem gerakan untuk melaksanmakan usaha-usaha dan
mencapai tujuan dalam barisan yang kokoh, tidak berjalan sendiri-sendiri dan
tidak centang perenang.[10]
Ideologi dalam pandangan umum ialah ”sistem keyakinan yang menjelaskan
rencana sosial dengan segala kaitannya”[11], sebagai ”suatu sistem ide yang mendasari dan menjelaskan aksi
sosial dan politik”[12], suatu ”sistem paham atau seperangkat pemikiran yang
menyeluruh yang bercita-cita menjelaskan dunia dan berusaha untuk mengubahnya”
(Riberu, 1986: 4). Menurut Shariati[13], ideologi merupakan paham dan teori perjuangan yang dianut kuat oleh
kelompok manusia menuju pada cita-cita sosial tertentu dalam kehidupan. Adapun
ideologi memiliki unsur-unsur pokok, yaitu: (1) pandangan yang komprehensif
tentang manusia, dunia, dan alam semesta dalam kehidupan; (2) rencana penataan
sosial-politik berdasarkan paham tersebut; (3) kesadaran dan pencanangan dalam
bentuk perjuangan melakukan perubahan-perubahan berdasarkan paham dan rencana
dari ideologi tersebut; (4) usaha mengarahkan masyarakat untuk menerima
ideologi tersebut yang menuntut loyalitas dan keterlibatan para pengikutnya;
dan (5) usaha memobilisasi seluas mungkin para kader dan massa yang akan
menjadi pendukung ideologi tersebut.[14]
Menurut
Tim Tajdid Muhammadiyah tahun 1968, bahwa lahirnya pemikiran ideologis tersebut
selain untuk menghadapi perkembangan kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan
yang tumbuh kala itu, sekaligu sebagai ikhtiar ke dalam untuk mengokohkan
kembali komitmen dan nilai-nilai dasar gerakan Muhammadiyah yang menurut para
”as-sabiquna al-awwalun” (para perintis Muhammadiyah generasi awal pasca Kyai
Dahlan) mulai dirasakan adanya ”gejala atau tanda-tanda kekaburan dalam
kalangan Muhammadiyah dari segi idiil-ideologinya”[15]
[8] Disertasi tersebut berjudul The Formation of The
Muhammadiyah’s Ideology 1912-1942 yang oleh penulisnya telah dipublikasikan
menjadi buku dalam teks aselinya, yang kemudian diterjemahkan oleh Drs. Ahmad
Nur Fuad, MA., menjadi sebuah buku berbahasa Indonesia. Lihat: Achmad Jainuri, Ideologi
Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal
(Surabaya: lpam), tahun 2002.
[15]kompasko
Posting Komentar untuk "Sejarah Makalah Ideologi Muhammadiyah "