Cerpen~Diam-Diam Suka
Diam-Diam Suka
Aku… Siswa biasa yang bersekolah di SMA favorite. Entah apa yang aku harapkan saat itu. Kenapa aku bisa
masuk SMA, yang notabennya adalah siswa-siswa famous dan berprestasi. SMA Tuna Bakti. SMA yang paling
banyak memenangkan kejuaraan. Baik dalam bidang pelajaran, olahraga, seni dan bidang umum lainnya. Aku
termasuk siswa di bidang olahraga. Khususnya tenis lapangan. Aku sering menjuarai kejuaraan. Sebenarnya, aku
nggak tertarik sedikit pun dengan tenis. Awalnya… aku cuma keseringan nemenin mama kursus tenis. Lama
kelamaan, kayaknya tenis menyenangkan. Aku mulai mencoba. Dan akhirnya berani ikut pertandingan. Sudah
banyak pertandingan yang aku ikuti. Nggak disangka, karena kerja kerasku aku bisa juara satu Indonesia.
SMA Tuna Bakti bukan sekolah pilihanku. Aku masuk ke sana gara-gara papa ngebet banget aku sekolah di sana.
Ya… mau nggak mau aku harus nurut. Namaku Vaisha Hashkara. Biasa dipanggil Vaisha.
Kelas 11 IPS 2. Di SMA ini ada satu cowok yang bikin aku heran.
Yaitu Ajun. Ajun Aldevaro. Kelas 11 IPS 1. Kapten basket yang famouuusss banget.
Hampir semua cewek-cewek di sekolah ngefans sama dia. Rebutan, siapa duluan yang jadi pacarnya. Aku nggak mau ikutan acara kayak begituan. Ngrebutin cowok yang nggak jelas. Ajun emang ganteng, pinter, jago basket, ramah, pokoknya multi talent. Tapi kalo mandang cowok dari kelebihannya aja, itu sih bukan tulus namanya.
Hampir semua cewek-cewek di sekolah ngefans sama dia. Rebutan, siapa duluan yang jadi pacarnya. Aku nggak mau ikutan acara kayak begituan. Ngrebutin cowok yang nggak jelas. Ajun emang ganteng, pinter, jago basket, ramah, pokoknya multi talent. Tapi kalo mandang cowok dari kelebihannya aja, itu sih bukan tulus namanya.
Hari ini pertandingan basket rutin SMA Tuna Bakti dengan SMA Merah Putih. Semua siswa, apalagi yang cewekceweknya berteriak memanggil nama Ajun. Itu sudah menjadi hal biasa. Jadi nggak heran lagi itu terjadi setiap
Ajun tanding. Aku sama sekali nggak berminat untuk nonton.
Tapi kali ini aku nggak bisa menghindar. Secara aku ketua PMI terbaik sedaerah tahun ini. Jadi terpaksa, aku harus nonton sampai selesai. Kalo aku nggak nonton, nanti ada yang cidera… trus akunya nggak ada, bisa abis dimarahi aku.
Tapi kali ini aku nggak bisa menghindar. Secara aku ketua PMI terbaik sedaerah tahun ini. Jadi terpaksa, aku harus nonton sampai selesai. Kalo aku nggak nonton, nanti ada yang cidera… trus akunya nggak ada, bisa abis dimarahi aku.
Pertandingan sudah setengah jalan. SMA Tuna Bakti tetap memimpin. Sorak-sorak penonton terdengar semakin
keras. Dan itu yang membuat aku semakin bosan untuk nonton.
Saat Ajun ingin melakukan slum dunk, tiba-tiba ia didorong lawan sampek kakinya terkilir. Ia terlihat kesakitan,
tapi ia tetap tegar dan bertahan. Aku hanya melihatnya dengan lamunan.
“Vaisha, itu ada yang cedera. Cepetan bantuin!” ucap Chika, salah satu anggota PMR.
“Vais, apa yang kamu lakuin” kata Sheina, sahabatku sekaligus satu-satunya anggota PMI sepertiku.
Aku tetap tak menggubris.
“Vaisha!” teriak Sheina sambil menepukku.
Aku tersadar dan langsung berdiri menuju Ajun.
“Biarin aja dia yang nolongin.
Dia kan nggak suka basket. Mungkin kalo nolongin kapten basket, dia bisa suka basket!” ucap Sheina. “Suka basket, atau suka yang main basket?” canda Chika. Mereka berdua saling tatap dengan senyum.
Dia kan nggak suka basket. Mungkin kalo nolongin kapten basket, dia bisa suka basket!” ucap Sheina. “Suka basket, atau suka yang main basket?” canda Chika. Mereka berdua saling tatap dengan senyum.
“Ka… kamu nggak… papa? Kamu bisa tahan kan?” tanyaku sedikit terbata dan gugup.
“Aku bisa tahan kok” jawabnya singkat.
Tanpa basa-basi aku langsung meraih tangannya dan menaruhnya di pundakku. Lalu membawanya ke UKS.
Entah aku sadar atau tidak telah melakukan hal itu. Tapi jujur aku benar-benar tidak sadar. Hal pertama yang aku
lakukan, adalah melepas sepatunya.
“Eh… tunggu-tunggu, biar aku sendiri aja yang nglepasin sepatuku.”
“Kok gitu?”
“Udah biar aku sendiri” pintanya.
“Aku aja”
“Udahlah aku aja”
Tanpa panjang lebar aku membentaknya.
“Kamu itu gimana sih, udah bagus-bagus aku bantuin, malah sok pinter bisa sendiri. Mendingan tadi nggak usah
aku tolongin. Toh kamu bisa sendiri” emosiku kuluapkan dalam kata demi kata.
Sejenak aku terdiam. Ajun masih memandangiku. Anehnya ia sedikit tersenyum.
Aku tersadar.
“Ma… maaf! Aku kebablasan!” ucapku
“Nggak papa! Nggak ada masalah kok.” jawabnya, lagi-lagi dengan tersenyum.
“Kamu kok senyum sih, nggak malah marah?”
“Buat apa marah, kalo orang di depan aku ini nggak ngebuat aku marah”
“Tapi aku kan udah bentak-bentak kamu”
“Itu bukan bentak, tapi berjuang untuk membantu.
Aku berpikir kalau kamu berjuang buat bantuin aku” “Nggak juga!” “Itu kan pendapat aku” Aku melepas sepatunya dan mulai mengobatinya. “Aduh, sakit tau!” helanya. “Maaf!” Lalu ia senyam-senyum lagi melihatku.
Aku balik menatapnya. “Kamu, kenapa senyam-senyum gitu. Ihh… ngeri deh!” “Kamu… cantik!” ucapnya. “Heleh, aku nggak akan terbujuk rayuan kamu. Meskipun semua temen bahkan semua cewek di sekolah ini suka dan ngefans banget sama kamu, aku nggak bakal kayak mereka. Camkan itu!”
Aku berpikir kalau kamu berjuang buat bantuin aku” “Nggak juga!” “Itu kan pendapat aku” Aku melepas sepatunya dan mulai mengobatinya. “Aduh, sakit tau!” helanya. “Maaf!” Lalu ia senyam-senyum lagi melihatku.
Aku balik menatapnya. “Kamu, kenapa senyam-senyum gitu. Ihh… ngeri deh!” “Kamu… cantik!” ucapnya. “Heleh, aku nggak akan terbujuk rayuan kamu. Meskipun semua temen bahkan semua cewek di sekolah ini suka dan ngefans banget sama kamu, aku nggak bakal kayak mereka. Camkan itu!”
“Aku nggak ngeharusin kamu suka sama aku. Tapi kayaknya… ”
“Apa?” tanyaku penasaran
“Aku… suk…”
Tiba-tiba…
Semua cewek-cewek yang tadi nonton pertandingan masuk dan ngerumunin Ajun. Saking banyaknya aku
sampek terdorong ke belakang.
“Vaisha, kamu nggak papa kan?” tanya Sheina. “Nggak papa kok. Tenang aja, Vaisha tahan banting” “Iya, percaya. Eh… gimana Ajun?” “Udah aku obatin. Oh yaa, tadi Ajun tuh senyam-senyum sama aku. Aku jadi ngeri deh” “Apa, senyam-senyum? Itu tandanya… Ajun, suka sama kamu” “Ya nggak mungkin lah.
Kamu tuh ada-ada aja” “He, em!!!” Hari ini bete banget rasanya. Sheina nggak masuk sekolah, padahal dia yang nemenin aku setiap saat. Pelajaran semuanya jamkos, karena hari ini ada event pertandingan gitu di sekolah. Jadi lariku ya… ke taman sekolah. “Kalo kebanyakan ngelamun, nanti bisa kesambet lo” “Siapa juga yang ngelamun” “Ih.. ih.. ih… udah ketauan tapi nggak mau ngaku” “Kamu kenapa sih gangguin aku?” “Emang nggak boleh, akukan juga butuh temen” “Temen kamu kan banyak, nggak aku aja.
Lagi pula aku bukan temen kamu, kenal aja enggak.” “Kalo aku maunya kamu yang jadi temen aku, gimana? Meski kamu belum kenal aku, aku kan bisa kenal kamu.” “Terserah deh mau kamu!” Hening di antara kami. “Oh ya, gimana kaki kamu?” “Udah mendingan kok. Kan yang ngobatin, ngobatinnya pake… cinta” “Kamu apaan sih? Nggak jelas” “Boleh ngomong sesuatu nggak?” Aku mengangguk. “Aku sebenernya, udah tau kamu sejak kelas 10.
Saat itu kamu lagi sendirian, sambil baca buku di taman ini. Padahal semua cewek bahkan semua murid lagi nonton pertandingan basketku. Sejak itu aku penasaran sama kamu. Kamu tuh terlihat beda sama cewek-cewek yang lain. Tapi aku nggak berani deketin kamu, aku kira kamu nggak bakal suka sama aku. Oh ya, soal kemarin aku sengaja ngebuat diri aku cedera.
Aku dapat informasi kalo yang jadi PMInya itu kamu. Aku minta bantuan ama kapten basket Merah Putih untuk sengaja dorong aku saat aku slam dunk. Agar aku bisa ketemu, dan bisa bicara sama kamu. Jadi aku minta maaf, udah ngerepotin kamu.
Dan thanks juga!” Aku hanya terdiam tak percaya. Bukan masalah Ajun udah kenal aku, tapi kemarin Ajun udah sengaja nyelakain dirinya sendiri dan bohong, cuma buat bisa ngomong sama aku
“Vaisha, kamu nggak papa kan?” tanya Sheina. “Nggak papa kok. Tenang aja, Vaisha tahan banting” “Iya, percaya. Eh… gimana Ajun?” “Udah aku obatin. Oh yaa, tadi Ajun tuh senyam-senyum sama aku. Aku jadi ngeri deh” “Apa, senyam-senyum? Itu tandanya… Ajun, suka sama kamu” “Ya nggak mungkin lah.
Kamu tuh ada-ada aja” “He, em!!!” Hari ini bete banget rasanya. Sheina nggak masuk sekolah, padahal dia yang nemenin aku setiap saat. Pelajaran semuanya jamkos, karena hari ini ada event pertandingan gitu di sekolah. Jadi lariku ya… ke taman sekolah. “Kalo kebanyakan ngelamun, nanti bisa kesambet lo” “Siapa juga yang ngelamun” “Ih.. ih.. ih… udah ketauan tapi nggak mau ngaku” “Kamu kenapa sih gangguin aku?” “Emang nggak boleh, akukan juga butuh temen” “Temen kamu kan banyak, nggak aku aja.
Lagi pula aku bukan temen kamu, kenal aja enggak.” “Kalo aku maunya kamu yang jadi temen aku, gimana? Meski kamu belum kenal aku, aku kan bisa kenal kamu.” “Terserah deh mau kamu!” Hening di antara kami. “Oh ya, gimana kaki kamu?” “Udah mendingan kok. Kan yang ngobatin, ngobatinnya pake… cinta” “Kamu apaan sih? Nggak jelas” “Boleh ngomong sesuatu nggak?” Aku mengangguk. “Aku sebenernya, udah tau kamu sejak kelas 10.
Saat itu kamu lagi sendirian, sambil baca buku di taman ini. Padahal semua cewek bahkan semua murid lagi nonton pertandingan basketku. Sejak itu aku penasaran sama kamu. Kamu tuh terlihat beda sama cewek-cewek yang lain. Tapi aku nggak berani deketin kamu, aku kira kamu nggak bakal suka sama aku. Oh ya, soal kemarin aku sengaja ngebuat diri aku cedera.
Aku dapat informasi kalo yang jadi PMInya itu kamu. Aku minta bantuan ama kapten basket Merah Putih untuk sengaja dorong aku saat aku slam dunk. Agar aku bisa ketemu, dan bisa bicara sama kamu. Jadi aku minta maaf, udah ngerepotin kamu.
Dan thanks juga!” Aku hanya terdiam tak percaya. Bukan masalah Ajun udah kenal aku, tapi kemarin Ajun udah sengaja nyelakain dirinya sendiri dan bohong, cuma buat bisa ngomong sama aku
Posting Komentar untuk "Cerpen~Diam-Diam Suka"