Cerita Mistis KKN di Desa Penari 2019 Versi NUR,WIDYA,ILHAM
- KKN VERSI WIDYA
- KKN VERSI NUR
- KKN VERSI ILHAM
1. KKN di Desa Penari versi Widya
Sebelumnya, Penulis Tidak Mendapat Ijin Untuk Memposting Cerita Ini Dari Yang Empunya Cerita, Karena Beliau Memiliki Ketakutan Sendiri Pada Beberapa Hal, Yang Meliputi Kampus, Dan Desa Tempat KKN Di Adakan.
Tetapi, Karena Penulis Berpikir Bahwa Cerita Ini Memiliki Banyak Pelajaran Yang Mungkin Bisa Dipetik Terlepas Dari Pengalaman Sang Pemilik Cerita Akhirnya, Kami Sepakat, Bahwa, Semua Yang Berhubungan Dengan Cerita Ini, Meliputi Nama Kampus, Fakultas, Desa Dan Latar Cerita,Akan Sangat Di Rahasiakan.
Jadi Buat Teman-Teman Yang Membaca Cerita Ini, Yang Mungkin Tahu, Atau Merasa Familiar Dengan Beberapa Tempat Yang Meski Di Samarkan Ini, Di Mohon, Untuk Diam Saja, Atau Merahasiakan Semuanya, Karena Ini Sudah Menjadi Janji Penulis Dan Pemilik Cerita. Tahun 2009 Akhir,
Semua Anak Angkatan 2005/06 Sudah Hampir Merampungkan Persyaratan Untuk Mengikuti KKN Yang Di Lakukan Dibeberapa Desa Sebagai Syarat Lanjutan Untuk Tugas Skripsi.
Dari Semua Wajah Antusias Itu Di Kampus, Terlihat Satu Orang Tampak Menyendiri.
Widya, Begitu Anak-Anak Lain Memanggilnya
Ia Tampak Begitu Gugup, Menyepi, Menyendiri, Sampai Panggilan Telepon Itu Membuyarkan Lamunanya.
"Aku Wes Oleh Nggon KKN 'E" (Aku Sudah Dapat Tempat Untuk KKN) Kata Di Ujung Telpon.
Wajah Muram Itu, Berubah Menjadi Senyuman Penuh Harap
"Nang Ndi?" (Dimana?)
"Nang Kota B, Gok Deso Kabupaten K***Li** , Akeh Proker, Tak Jamin, Nggone Cocok Gawe KKN" (Di Kota B, Disebuah Desa Di Kabupaten K*******, Banyak Proker Untuk Di Kerjakan, Tempatnya Cocok Untuk KKN Kita)
Saat Itu Juga, Widya Segera Mengajukan Prop KKN
Semua Persyaratan Sudah Terpenuhi, Kecuali Kelengkapan Anggota Dalam Setiap Kelompok Minimal Harus Melibatkan 2 Fakultas Berbeda Pun Dengan Anggota Minimal 6 Orang.
"Tenang" Kata Ayu, Perempuan Yang Tempo Hari Memberi Kabar Tempat KKN Yang Ia Observasi Bersama Abangnya.
Benar Saja, Tidak Beberapa Lama, Muncul Bima Dengan Nur, Ia Menyampaikan, Kelengkapan Anggota 6 Orang Yang Melibatkan 2 Fakultas Sudah Di Setujui.
"Sopo Sing Gabung Nur?" (Siapa Yang Sudah Gabung Nur?) Tanya Ayu,
"Temenku. Kating, 2 Angkatan Di Atas Kita, Satunya Lagi, Temanya"
Lega Sudah. Batin Widya.
Surat Keputusan KKN Sudah Disetujui Semuanya, Terdiri Dari 2 Fakultas Dengan Proker Kelompok Dan Individu, Untuk Pengabdian Di Masyarakat Yang Akan Di Adakan Kurang Lebih Sekitar 6 Minggu.
Hanya Tinggal Menunggu, Pembekalan Sebelum Keberangkatan.
Jauh Hari Sebelum Malam Pembekalan, Widya Berpamitan Kepada Orangtuanya Tentang Progress KKN Yang Wajib Ia Tempuh, Keika Orangtua Widya Bertanya Kemana Projek KKN Mereka, Terlihat Wajah Tidak Suka Dari Raut Ibunya.
"Gak Onok Nggon Liyo, Lapo Kudu Gok Kota B," (Apa Gak Ada Tempat
-Lain, Kenapa Harus Kota B) Wajah Ibunya Menegang. "Nggok Kunu Nggone Alas Tok, Ra Umum Di Nggoni Gawe Menungso" (Disana Tempatnya Bukanya Hutan Semua, Tidak Bagus Ditinggali Oleh Manusia)
Namun Setelah Widya Menejelaskan, Bahwa Sebelumnya Sudah Dilakukan Observasi,-
Wajah Ibunya Melunak.
"Perasaane Ibuk Gak Enak, Opo Gak Isok Di Undur Setahun Maneh" (Perasaan Ibu Gak Enak, Apa Tidak Bisa Di Undur Satu Tahun Lagi)
Widya Enggan Melakukanya, Maka, Meski Berat, Kedua Orangtuanya Pun Terpaksa Menyetujuinya.
Hari Pembekalan Sebelum Keberangkatan.
Widya, Ayu, Bima Dan Nur, Matanya Melihat Ke Sekeliling, Khawatir, 2 Orang Yang Seharusnya Ikut Pembekalan Belum Juga Terlihat Batang Hidungnya, Sampai, Menjelang Siang, 2 Orang Muncul, Menyapa Dan Memperkenalkan Dirinya Di Depan Mereka.
Wahyu Dan Anton.
Setelah Basa Basi, Bertanya Seputar Rencana KKN Dari A Sampai Z Selesai, Mereka Akhirnya Berangkat.
"Numpak Opo Dik Kene??" (Naik Apa Kita Nanti?) Kata Wahyu.
"Elf Mas" Jawab Nur.
"Sampe Deso'ne Numpak Elf Dik?" (Sampai Desanya Naik Mobil Elf Dik?)
"Mboten Mas. Berhenti Di Jalur Alas D Engken Enten Sing Jemput" (Tidak Mas, Nanti Berhenti Di Jalur Hutan D, Nanti Ada Yang Jemput) Sahut Nur.
Mendengar Itu, Widya Bertanya Ke Ayu. "Yu, Deso'ne Ra Isok Di Liwati Mobil Ta?" (Yu, Apa Desanya Gak Bisa Di Masuki Mobil"
Ayu Hanya Menggelengkan Kepala. "Ra Isok, Tapi Cedek Kok Tekan Dalan Gede, 45 Menit Palingan" (Gak Bisa, Tapi Dekat Kok Dari Jalan Besar, 45 Menit Kemungkinan)
Disinilah. Cerita Ini Di Mulai.
Sesuai Apa Yang Nur Katakan. Mobil Berhenti Di Jalur Masuk Hutan D, Menempuh Perjalanan 4 Sampai 5 Jam Dari Kota S, Tanpa Terasa Hari Sudah Mulai Petang, Di Tambah Area Dekat Dengan Hutan, Membuat Pandangan Mata Terbatas, Belum Sampai Disana, Gerimis Mulai Turun. Lengkap Sudah.
Setelah Menunggu Hampir Setengah Jam, Terlihat Dari Jauh, Cahaya Mendekat, Nur Dan Ayu Langsung Mengatakan Bahwa Mereka Yang Akan Mengantar.
Rupanya, Yang Mengantar Adalah 6 Lelaki Paruh Baya, Dengan Motor Butut.
"Cuk. Sepedaan Tah" Kata Wahyu, Spontan, Saat Itu Ada Yang Aneh
Entah Disengaja Atau Tidak, Ucapan Yang Di Anggap Biasa Di Kota S, Di Tanggapi Lain Oleh Lelaki-Lelaki Itu, Wajahnya Tampak Tidak Suka, Dan Sinis Tajam Melihat Wahyu.
Hanya Saja, Yang Memperhatikan Semua Sedetail Itu, Hanya Widya Seorang. Apapun Itu, Semoga Bukan Hal Yang Buruk.
Ditengah Gerimis, Jalanan Berlumpur, Pohon Di Samping Kanan Kiri, Mereka Tempuh Dengan Suara Motor Yang Seperti Sudah Mau Ngadat Saja, Ditambah Medan Tanah Naik Turun, Membuat Widya Berpikir Kembali
Sudah Hampir Satu Jam Lebih, Tapi Motor Masih Berjalan Lebih Jauh Ke Dalam Hutan
Khawatir Bahwa Yang Di Maksud Ayu, Setengah Jam Lewat 15 Menit Adalah Setengah Hari, Widya Mulai Berharap Semua Ini Cepat Selesai.
Di Tengah Perjalanan, Tidak Satupun Dari Pengendara Motor Itu Yang Mengajaknya Bicara, Aneh. Apa Semua Warga Disana Pendiam Semua.
Malam Semakin Gelap, Dan Hutan Semakin Sunyi Sepi, Namun, Kata Orang, Dimana Sunyi Dan Sepi Di Temui, Disana, Rahasia Di Jaga Rapat-Rapat.
Kini, Rasa Menyesal Sempat Terpikir Di Pikiran Widya, Apakah Ia Siap, Menghabiskan 6 Minggu Ke Depan, Di Sebuah Desa, Jauh Di Dalam Hutan.
Ketika Suara Motor Memecah Suara Rintik Gerimis, Dari Jauh, Sayup-Sayup, Terdengar Sebuah Suara.
Suara Familiar, Dengan Tabuhan Kendang Dan Gong, Di Ikuti Suara Kenong, Kompyang, Mebaur Menjadi Alunan Suara Gamelan.
Apa Ada Yang Sedang Mengadakan Hajatan Di Dekat Sini.
Dan Ketika Sayup-Sayup Suara Itu Perlahan Menghilang, Terlihat Gapura Kayu, Menyambut Mereka.
Sampailah Mereka Di Desa W****, Tempat Mereka Akan Mengabdikan Diri Selama 6 Minggu Ke Depan.
"Monggo" (Permisi) Kata Lelaki Itu, Sebelum Meninggalkan Widya Dengan Motornya.
"Mrene Rek" Teriak Ayu, Di Sampingnya Berdiri Seorang Pria, Wajahnya Tenang, Dengan Kumis Tebal, Mengenakan Kemeja Batik Khas Ketimuran, Ia Berdiri Seolah Sudah Menunggu Sedari Tadi.
"Kenalno, Niki Pak Prabu. Kepala Desanya. Koncone Mas'ku. Pak Prabu, Niki Rencang Kulo Yang Dari Kota S, Mau Melaksanakan Kegiatan KKN Di Kampung Panjenengan" (Kenalkan, Ini Pak Prabu, Kepala Desa Teman Kakakku, Pak Prabu, Ini Teman Saya Yang Dari Kota, Yang Rencananya Mau KKN"
Pak Prabu Memperkenalkan Diri, Bercerita Tentang Sejarah Desanya, Di Tengah Ia Bercerita, Widya Pun Bertanya Kenapa Desanya Harus Sepelosok Ini, Dengan Tawa Sumringah, Pak Prabu Menjawab.
"Pelosok Yok Nopo Toh Mbak, Jarak Ke Dalan Gede Cuma Setengah Jam Kok"
(Pelosok Bagaimana-
Maksudnya Mbak, Bukanya Jarak Ke Jalan Besar Hanya 30 Menit)
Tatapan Bingung Widya, Disambut Tatapan Bertanya Oleh Semua Temanya, Seolah Pertanyaanya Kok Membingungkan.
"Mbak'e Paling Pegel, Wes, Tak Anter Nang Ndi Sedoyo Bakal Tinggal" (Mbaknya Mungkin Capek, Jadi, Mari, Tak-
Antar Ke Tempat Dimana Nanti Kalian Tinggal)
Di Tengah Kebingungan Itu, Ayu Menegur Widya. "Maksudmu Opo To Wid, Takon Koyok Ngunu? Garai Sungkan Ae" (Maksudnya Bagaimana Tah Wid, Kok Kamu Tanya Seperti Itu, Buat Saya Sungkan Saja Kamu)
Di Situ, Widya Menyadari, Ada Yang Salah.
Tempat Menginap Untuk Laki-Laki Adalah Rumah Gubuk Yang Dulunya Seringkali Dipakai Untuk Posyandu, Tapi Sudah Di Rubah Sedemikian Rupa, Meski Beralaskan Tanah, Tapi Di Dalamnya Sudah Ada Bayang (Ranjang Tidur) Beralasakan Tikar.
Sedangkan Untuk Perempuan, Menginap Di Salah Satu-
Rumah Warga.
Di Dalam Kamar, Widya Pun Bertanya, Maksud Ucapanya Kepada Pak Prabu, Karena Sepanjang Perjalanan, Bila Di Rasakan Oleh Widya Sendiri, Itu Lebih Dari Satu Jam, Ayu Membantah Bahwa Lama Perjalanan Tidak Sampai Selama Itu, Anehnya, Nur Memilih Tidak Ikut Berdebad.
Nur, Lebih Memilih Untuk Diam.
"Ngene, Awakmu Krungu Ora, Nang Dalan Alas Mau, Onok Suara Gamelan?" (Gini, Kamu Dengar Apa Tidak , Di Jalan Tadi, Ada Suara Orang Memainkan Gamelan?)
"Yo Paling Onok Hajatan Lah, Opo Maneh" (Ya Palingan Ada Warga Yang Mengadakan Hajatan, Apalagi)
Berbeda Dengan Ayu,-
Nur, Menatap Widya Dengan Ngeri.
Sembari Berbicara Lirih, Nur Yang Seharusnya Paling Ceria Di Antara Mereka Berkata. "Mbak, Ra Onok Deso Maneh Nang Kene, Gak Mungkin Nek Onok Hajatan, Nek Jare Wong Biyen, Krungu Gamelan Nang Nggon Kene, Iku Pertanda Elek"
(Mbak, Tidak Mungkin Ada Desa Lain Disini, Tidak Mungkin Ada Acara Di Dekat Sini, Kalau Kata Orang Jaman Dulu, Kalau Dengar Suara Gamelan, Itu Pertanda Buruk)
Mendengar Itu, Ayu Tersulut Dan Langsung Menuding Nur Sudah Ngomong Yang Tidak-Tidak.
"Nur, Ra Usah Ngomong Aneh-Aneh Kui, Awakmu Yo Melok Observasi Nang Kene Ambek Aku, Mosok Gorong Sedino Wes Ngomong Ra Masuk Akal Ngunu" (Nur, Jangan Ngomong Sembarangan Kamu-
Bukanya Kamu Ikut Observasi Di Kampung Ini Sama Aku, Belum Sehari Kamu Sudah Ngomong Ha; Yang Gak Masuk Akal Begini)
Ayu Pergi, Meninggalkan Widya Dengan Nur.
Saat Itu, Nur Mengatakanya. "Mbak, Aku Yo Krungu Suara Gamelan Iku" (Mbak, Aku Juga Dengar Suara Gamelan Itu) Katanya.
"Masalahe Mbak, Aku Yo Ndelok Onok Penari'ne Nang Dalan Mau" (Masalahnya, Aku Juga Lihat Ada Yang Menari Di Jalan Tadi)
"Astaghfirullah" Kata Widya Tidak Percaya.
Nur Menatap Nanar Widya, Air Matanya Sudah Seperti Memaksa Keluar, Widya Hanya Memeluk Dan Mencoba Menenangkanya.
Benar Kata Ibunya Tempo Hari.
"Banyu Semilir Mlayu Nang Etan," (Air Selalu Mengalir Ke Arah Timur) Yang Memiliki Makna, Bahwa Timur Adalah Tempat Dimana Semua Di Kumpulkan Menjadi Satu, Antara Yang Buruk Dan Yang Paling Buruk, Dan Kini, Widya Harus Tinggal Di Hutan Paling Timur
Cerita Tentang Nur Dan Widya Tentang Suara Gamelan Di Sepanjang Perjalanan Tadi, Masih Awalnya Saja, Ibarat Sebuah Kopi Masih Sampai Di Rasa Yang Paling Manis, Belum Sampai Di Rasa Yang Paling Pahit.
Widya Memang Percaya Terhadap Hal-Hal Yang Ghaib, Itu Ada Di Dalam Ajaran Agamanya, Namun Baru Kali Ini Ia Merasakan Langsung Pengalaman Itu, Meski Hanya Sekedar Suara, Berbeda Dengan Nur, Temanya, Ia Mengaku Melihat Yang Tidak Seharusnya Ia Lihat.
Mungkin Nur Lebih Sensitif.
Memang, Sejak Awal, Nur Yang Paling Berbeda Di Antara Yang Lain, Hanya Dia Seorang Yang Mengenakan Jilbab, Dibandingkan Dengan Ayu Dan Dirinya Sendiri, Nur Yang Paling Religius, Karena Setahu Widya Sendiri, Nur Jebolan Pondok Pesantren Ternama Di Kota "J".
Terlepas Dari Itu Semua, Pengalaman KKN Ini, Tidak Akan Pernah Di Lupakan Oleh Semua Rombongan Ini.
"Nur," Kata Widya Masih Menenangkan "Nur Bisa Ndak, Cerita Ini Ojok Sampe Nyebar Yo Gok Arek2, Kan Gak Enak, Nek Sampe Kerungu Ambi Warga Deso, Opo Maneh Kita Disini Iku Tamu, Insyaallah, Kabeh Lancar, Nggih"
(Nur, Bisa Gak Cerita Ini Jangan Sampai Menyebar Ke Teman-Teman)
(Kan Jadi Gak Enak, Kalau Sampai Warga Desa Dengar, Apalagi Kita Disini Itu Sebagai Tamu, Insyaallah, Semua Akan Baik-Baik Saja. Ya)
Nur Mengangguk, Meski Enggan Menjawab Kalimat Widya, Dan Malam Itu, Tanpa Terasa Di Lewati Begitu Saja.
Keesokan Harinya, Rombongan Sudah Berkumpul, Sesuai Janji Pak Prabu, Hari Ini, Akan Keliling Desa, Melihat Semua Proker Yang Sudah Di Ajukan Oleh Ayu Tempo Hari, Sekaligus, Meminta Saran Untuk Proker Individu Yang Harus Di Kerjakan Oleh Satu Anak Sendiri-Sendiri.
"Ngene Iki, Walaupun Saya Tinggal Nang Kene, Aku Yo Pernah Kuliah Loh Dek, Sarjana Lagi" Kata Pak Prabu, Bahasanya Medok, Campur-Campur Antara Bahasa Jawa Dan Bahasa Indonesia,
Mendengar Itu, Wahyu Menimpali. "Iku Lo, Rungokno Bapak'e, Walaupun Wong Deso, Gak Lali Kuliah"
(Itu Loh, Dengarkan Bapaknya, Walaupun Rumahnya Di Desa, Tidak Lupa Kuliah)
Wahyu Melanjutkan. "Bapake Ambil Apa Dulu? Perhutanan Ya?"
"Bukan" Kata Beliau Santai. "Pertanian"
"Lah Ra Onok Sawah Nang Kene, Piye Toh Pak" (Lah, Disini Gak Ada Sawah, Gimana Sih Pak?)
"Ya, Memangnya Sampeyan Pikir Hanya Karena Ambil Pertanian Harus Terjun Ke Sawah"
Jawaban Pak Prabu Sontak Membuat Tawa Pecah, Widya Melirik Nur, Dia Sudah Bisa Ceria Lagi, Melupakan Sejenak Kejadian Semalam.
Sampailah, Mereka Di Pemberhentian Pertama. Sebuah Pemakaman Desa.
Aneh.
Itu Yang Pertama Kali Di Pikirkan Widya, Atau Mungkin Serombongan Orang. Di Setiap Nisan, Di Tutup Oleh Kain Hitam.
Pemakamanya Sendiri, Di Kelilingi Pohon Beringin, Dan Di Setiap Pohon Beringin, Ada Batu Besar Di Sampingnya, Disana, Ada Lengkap, Sesajen Di Depanya.
Nur Yang Tadi Ikut Tertawa, Tiba-Tiba Menjadi Diam. Ia Menundukkan Kepalanya, Seolah Tidak Mau Melihat Sesuatu. Pagi, Itu Tiba-Tiba Terasa Gelap Di Dalam Pikiran Widya.
"Ngapunten Pak, Niki Nopo Nggih Kok" (Mohon Maaf Pak, Ini Kenapa Ya Kok)
Belum Selesai Widya Bicara, Pak Prabu Memotongnya
"Saya Tau, Apa Yang Adik Mau Katakan, Pasti Mau Tanya, Kok Patek (Nisan) Nya, Di Tutupi Pakai Kain, Gitu To?"
Widya Mengangguk. Rombongan Menatap Serius Pak Prabu, Terkecuali Wahyu Dan Anton, Terdengar Mereka Sayup Tertawa Kecil
"Ini Itu Namanya, Sangkarso. Kepercayaan Orang Sini. Jadi Biar Tahu, Kalau Ini Loh Pemakaman" Terang Pak Prabu, Yang Jawabanya Sama Sekali Tidak Membuat Serombongan Anak Puas, Sampai-Sampai Wahyu Dan Anton Walaupun Pelan Sengaja Menyindir. Namun Pak Prabu Bisa Mendengarnya.
"Wong Pekok Yo Isok Mbedakno Kuburan Karo Lapangan Pak" (Orang Bodoh Juga Bisa Membedakan Kuburan Dan Lapangan Bola Pak)
Pak Prabu Yang Awalnya Tersenyum Penuh Dengan Candaan, Tiba-Tiba Diam, Raut Wajahnya Berubah Dan Tak Tertebak.
"Semoga Saja, Kalain Tahu Yang Di Omongkan Ya"
Kalimat Pak Prabu Seperti Penekanan Yang Mengancam, Setidaknya Itu Yang Widya Rasakan, Sontak, Bima Langsung Merespon Dengan Meminta Maaf, Namun Wahyu Dan Anton Memilih Diam Setelah Mendengar Respon Pak Prabu.
"Mongo Pak, Bisa Lanjut Ke Tempat Selanjutnya"
Tempat Berikutnya Adalah Sinden (Kolam, Tempat Air Keluar Dari Tanah) Pak Prabu Mengatakan Bahwa Sinden Ini Bisa Di Jadikan Proker Paling Menjanjikan, Tidak Jauh Darisana Ada Sungai, Inginya Pak Prabu, Sinden Dan Sungai Bisa Di Hubungkan, Jadi Semcam Jalan Air.
Tanpa Terasa, Hari Sudah Siang.
Ayu Dan Widya Sudah Memetakan Semua Yang Pak Prabu Tunjukkan, Memberinya Sampel Warna Merah Sampai Biru, Dari Yang Paling Di Utamakan Sampai Yang Paling Akhir Di Kerjakan.
Namun, Tetap Saja. Selama Perjalanan, Widya Banyak Menemukan Keganjilan.
Keganjilan Yang Paling Mencolok Adalah, Tidak Satu Atau Dua Kali, Namun Berkali-Kali, Ia Melihat Banyak Sesajen Yang Di Letakkan Di Atas Tempeh, Lengkap Dengan Bunga Dan Makanan Yang Di Letakkan Disana, Di Tambah Bau Kemenyan, Membuat Widya Tidak Tenang.
Setiap Kali Mau Bertanya, Hati Kecilnya Selalu Mengatakan Bahwa Itu Bukan Hal Yang Bagus.
Nur, Setelah Dari Sinden, Ia Ijin Kembali Ke Rumah, Karena Badanya Tidak Enak, Dengan Sukarela Bima Yang Mengantarkanya, Jadi, Observasi Hanya Di Lakukan Oleh 4 Orang Saja.
Kemudian, Sampailah Di Titik Paling Menakutkan
"Tipak Talas" Kalau Kata Pak Prabu. Sebuah Batas Dimana Rombongan Anak-Anak Di Larang Keras Melintasi Sebuah Setapak Jalan Yang Di Buat Serampangan, Di Kiri Kanan, Ada Kain Merah Lengkap Di Ikat Oleh Janur Kuning Layaknya Pernikahan
"Kenapa Tidak Boleh Pak?" Tanya Ayu Penasaran.
Pak Prabu Diam Lama, Seperti Sudah Mempersiapkan Jawaban Namun Ia Enggan Mengatakanya.
"Iku Ngunu Alas D****** , Gak Onok Opo-Opo'ne, Wedine, Nek Sampeyan Niki Nekat, Kalau Hilang, Lalu Tersesat Bagaimana?"
(Itu Adalah Hutan Belantara, Gak Ada Apa-Apanya, Hanya Mempertimbangkan, Takutnya Kalau Kalian Kesana, Hilang, Tersesat, Lalu Bagaimana?)
Sekali Lagi, Jawaban Itu Cukup Membuat Widya Yakin Itu Bukan Yang Sebenarnya. Namun, Perasaan Merinding Melihat Jalanan Setapak Itu, Nyata.
Lanjut Gak??
Jadi Cuma Ngasih Tau. Cerita Ini Sangat Panjang, Karena Gw Harus Menulis Sedetail Mungkin Setiap Kejadian Selama 6 Minggu Itu. Gw Gak Mau Kehilangan Setiap Detail Pengalaman Si Pencerita.
Btw, Waktu Denger Ini, Gw Itu Lemes Tiap Ingat Waktu Di Ceritain Lebaran Lalu
Observasi Berakhir Ketika Pak Prabu Mengantar Rombongan Kembali Ke Rumah Beliau.
Ketika Kembali, Wahyu Dan Anton Bertanya, Dimana Kamar Mandi, Ia Tidak Menemukan Tempat Itu Di Tempat Mereka Menginap, Rupanya, Setiap Rumah Di Desa Ini Tidak Ada Satupun Yang Punya Kamar Mandi.
Alasan Kenapa Tidak Ada Satupun Rumah Yang Memiliki Kamar Mandi Adalah Karena Sulitnya Akses Air.
Tapi, Pak Prabu Menjelaskan, Di Bagian Selatan Sinden, Samping Sungai, Ada Sebuah Bilik Dengan Kendi Besar Di Dalamnya, Disana, Bisa Di Gunakan Untuk Mandi.
Tidak Berhenti Di Situ, Pak Prabu Mengatakan Bahwa, Mulai Hari Ini, Kendi Di Dalam Bilik Akan Di Usahakan Selalu Terisi Penuh, Terutama Untuk Mandi Anak-Anak Perempuan.
Untuk Laki-Laki, Bisa Mengisi Air Di Kendi Dengan Cara Menimba Air Dari Sungai.
Semua Anak Tampak Paham, Meski Muka Wahyu Dan Anton Tampak Keberatan, Namun Mereka Tidak Dapat Melakukan Apa-Apa.
Sekembalinya Ke Penginapan, Widya Melihat Nur Tengah Tidur, Hari Itu Di Akhiri Dengan Rapat Dengan Semua Anak, Lalu Kembali Ke Kamar Untuk Mengerjakan Laporan.
Sore Menjalang Malam.
Nur Sudah Bangun, Saat Itu Juga, Widya Memintanya Untuk Mengantarkan Dirinya Pergi Ke Kamar Mandi Di Bilik Samping Sinden, Awalnya Nur Tampak Tidak Mau, Tapi Karena Di Paksa, Kahirnya Ia Pun Ikut Dengan Catatan, Nur Adalah Yang Pertama Masuk Bilik.
Widya Setuju. Ia Gak Berpikir Aneh-Aneh.
Selama Perjalanan, Ia Melihat Setiap Rumah Yang Di Lewati, Rata-Rata Sama, Semua Rumah Tepan (Tembok Di Depan) Kiri-Kanan Dari Gedek (Bambu Dianyam), Langit Sudah Merah, Dan Setelah Menempuh Jarak Lumayan, Akhirnya Mereka Sampai Di Sinden
Bangunan Sinden Itu Menyerupai Candi Kecil, Bedanya, Kolamnya Persegi 4 Dengan Air Yang Jernih Tapi Berlumut, Setelah Mencari-Cari Dari Sinden, Ketemulah Bilik Itu Tepat Di Samping Pohon Asem, Yang Besar Sekali, Rindang, Tapi Mengerikan.
Sempet Ragu, Tapi Widya Bilang Lanjut.
Rupanya Benar, Ada Kendi Besar Di Dalam Bilik Itu.
Air Juga Sudah Penuh Di Dalam Kendi, Nur Pun Masuk, Sementara Widya Menunggu Di Depan Bilik, Matanya Tidak Bisa Melepaskan Diri Dari Bangunan Sinden Yang Entah Kenapa Seolah Menarik Perhatianya, Di Sampingnya, Ada Sesajen Itu.
Dari Dalam Bilik, Terdengar Suara Air Bilasan Dari Nur, Setelah Mencoba Mengalihkan Perhatian Dari Sinden, Widya Baru Sadar, Ada Aroma Kemenyan Di Dekat Tempatnya Berdiri, Di Telusurilah Wewangian Itu, Benar Saja, Di Samping Pohon Asem Itu Pun Ada Sesajenya.
Yang Lebih Parah, Bara Dari Kemenyan Baru Saja Di Bakar.
Antara Takut Dan Kaget, Widya Kembali Ke Pintu Bilik, Dan Dari Dalam, Sudah Tidak Terdengar Suara Air Bilasan.
"Nur" "Nur" Teriak Widya Sembari Menggedor Pintu Kayu, Anehnya, Hening, Tidak Ada Jawaban Dari Dalam.
Masih Berusaha Memanggil, Terdengar Sayup Suara Lirih, Lirih Sekali Sampai Widya Harus Menempelkan Telinganya Di Pintu Bilik.
Suara Orang Sedang Berkidung.
Kidungnya Sendiri Menyerupai Kidung Jawa, Suaranya Sangat Lembut, Lembut Sekali Seperti Seorang Biduan.
"Nur. Bukak Nur!! Bukak" Spontan Widya Menggedor Pintu Dengan Keras, Dan Ketika Pintu Terbuka, Nur Melihat Widya Dengan Ekspresi Wajah Panik
"Nyapo To, Wid?" (Kanapa Sih Wid?)
Ekspresi Ganjil Widya Membuat Nur Kebingungan, Terlebih Mimik Wajahnya Mencuri Pandang Bag Dalam Bilik
"Ayo Ndang Adus, Gantian, Aku Sing Gok Jobo" (Ayo Cepat Mandi, Ganti Biar Aku Yang Jaga Di Luar)
Kaget, Widya Sudah Ragu, Melihat Samping Bilik Ada Sesajen, Widya Tidak Tau Apa Harus Cerita Ke Nur Soal Itu, Namun Dengan Ragu, Widya Akhirnya Bergegas Masuk Bilik, Menutup Pintu.
Bagian Dalam Bilik Sangat Lembab, Kayu Bagian Dalamnya Sudah Berlumut Hitam, Di Depanya Ada Kendi Besar, Setengah Airnya Sudah Terpakai, Meraih Gayung Yang Terbuat Dari Batok Kelapa Dengan Gagang Kayu Jati Yang Di Ikat Dengan Sulur, Widya Mulai Membuka Bajunya Perlahan.
Masih Terbayang Nyanyian Kidung Tadi, Widya Mencuri Pandang, Ia Tidak Sendiri
Suasananya Seperti Ada Sosok Yg Melihat Dan Mengamatinya, Dari Ujung Rambut Hingga Ujung Kaki, Sosok Itu Seperti Wajah Seorang Wanita Nan Cantik Jelita, Masalahnya, Widya Tidak Tau Siapa Pemilik Wajah
Ia Berdiri Di Depan Kendi, Bajunya Sudah Tertanggal, Meraih Air Pertama Yang Membasuh Badanya, Widya Merasakan Dingin Air Itu Membilas Badanya.
Sunyi, Sepi, Nur Tidak Bersuara Di Luar Bilik, Memberikan Sensasi Kesendirian Yang Membuat Bulukuduk Merinding.
Setiap Siraman Air Di Kepalanya, Membuat Widya Memejamkan Matanya Dan Setiap Ia Memejamkan Mata, Terbayang Wajah Cantik Nan Jelita Itu Sedang Tersenyum Memandanginya.
Siapa Pemilik Wajah Cantik Itu?
Kemudian, Kidung Itu Terdengar Lagi, Widya Berbalik, Mengamati,
Suaranya, Dari Luar Bilik. Tempat Nur Berdiri Seorang Diri.
Apakah Nur Yang Sedang Berkidung?
Pertanyaan Itu, Menancap Keras Di Kepala Widya.
Usai Sudah Acara Mandi Di Sore Itu, Di Perjalanan Pulang, Widya Mencuri Pandang Pada Nur, Matanya Mengawasi, Seakan Tidak Percaya, Kemudian Ia Bertanya.
"Nur, Awakmu Isok Kidung Jawa Ya?" (Nur, Kamu Bisa Bersenandung Lagu Jawa Ya?)
Nur Mengamati Widya, Kemudian, Ia Diam.
Nur Pergi Tanpa Menjawab Sepatah Katapun Dari Pertanyaan Widya. Ia Seperti Membawa Rahasianya Sendiri, Tanpa Mau Membagi Rahasia Itu.
Listrik Di Desa Ini Menggunakan Tenaga Genset, Jadi Ketika Jam Menunjukkan Pukul 9, Lampu Sudah Mati, Di Ganti Dengan Petromak, Nur Sudah Pergi Tidur, Hanya Tinggal Widya Dan Ayu Yang Masih Menyelesaikan Progres Untuk Proker Esok Hari.
Widya Masih Teringat Kejadian Sore Tadi.
Sebenarnya Widya Mau Cerita, Namun Bila Melihat Respon Ayu Kemarin, Sepertinya Ia Bakal Di Semprot Dan Berujung Pada Pidato Tengah Malam.
Di Tengah Keheningan Mereka Menggarap Progres, Tiba-Tiba Ayu Mengatakan Sesuatu Yang Membuat Widya Tertarik.
"Mau Aku Ambek Bima, Ngecek Progres Gawe Pembuangan, Pas Muter Deso, Iling Gak Ambek Tapak Talas, Tibakne, Gak Adoh Tekan Kunu, Onok Omah Sanggar" (Tadi Aku Sama Bima, Mengecek Progres Untuk Pembuangan, Ketika Memutari Desa, Ingat Tidak Sama Tapak Tilas, Ternyata, Gak Jauh-
-Darisana, Ada Sebuah Bangunan Tua Menyerupai Sanggar)
Widya Terdiam Beberapa Saat, Memproses Kalimat Ayu
"Loh, Awakmu Kan Wes Reti Nek Gak Oleh Mrunu!!" (Loh, Bukanya Kamu Sudah Mengerti Dilarang Berada Disana)
"Guguk Aku" (Bukan Aku) Bela Ayu, Iku Ngunu Bima Sing Ngajak.
(Jadi Yang Mengajak Awalnya Si Bima) Jarene, Onok Wedon Ayu Mlaku Mrunu, Pas Di Tut'i, Ra Onok Tibak Ne (Katanya Ada Perempuan Cantik, Pas Di Ikuti Ternyata Gak Ada)
"Lah Trus, Awakmu Tetep Ae Mrunu!!" (Lah Terus Kamu Tetap Kesana)
"Cah Iki, Yo Kan Aku Ngejar Bima, Opo Di Umbarke Ae Cah Kui Ngilang!!" (Anak Ini, Kan Saya Mengejar Bima, Apa Di Biarkan Saja Anak Itu Nanti Hilang)
Perdebadan Mereka Berhenti Sampai Disana, Namun Perasaan Itu.
Widya Merasa Perasaanya Semakin Tidak Enak. Sejak Menginjak Desa Ini, Semuanya Terasa Seperti Kacau Balau.
Karena Malam Semakin Larut, Widya Pun Beranjak Pergi Ke Kamar, Disana Ia Melihat Nur, Sudah Terlelap Dalam Tidurnya. Ayu Pun Menyusul Kemudian, Berharap Malam Ini Segera Berlalu,
Tiba-Tiba Terdengar Langkah Kaki Saat Widya Melihat Apa Yang Terjadi, Bayangan Nur Melangkah Keluar
Ragu Apakah Mau Membangunkan Ayu, Widya Pun Beranjak Dari Tempatnya Tidur, Berjalan, Mengejar Nur.
Rumah Sudah Gelap Gulita, Sang Pemilik Rumah Tampaknya Sudah Terlelap Di Dalam Kamarnya, Di Depan Widya, Pintu Rumah Sudah Terbuka Lebar, Dengan Perlahan, Widya Melangkah Kesana.
Malam Itu Sangat Gelap, Lebih Gelap Dari Perkiraan Widya, Bayangan Pohon Tampak Lebih Besar Dari Biasanya, Dan Sayup-Sayup Terdengar Suara Binatang Malam, Sangat Sunyi, Sangat Sepi, Di Lihatnya Kesana-Kemari Mencari Dimana Keberadaan Nur, Widya Terpaku Melihat Nur, Di Depanya
Nur Berdiri Di Tanah Lapang Depan Rumah, Dia Menari Dengan Sangat Anggun, Tanpa Alas Kaki, Nur Berlenggak-Lenggok Layaknya Penari Profesional.
Widya, Termengu Mematung Melihat Temanya Seperti Itu. Ragu, Widya Mendekatinya. Tak Pernah Terfikirkan Nur Bisa Menari Seperti Ini.
"Nur" Panggil Widya, Tapi Sosok Nur Seperti Tidak Mendengarkanya, Ia Masih Berlenggak Lenggok, Sorot Matanya Beberapa Kali Melirik Widya, Ngeri, Tiba-Tiba Bulukuduk Terasa Berdiri Ketika Memandangnya.
Dari Jauh, Sayup Sayup, Kendang Terdengar Lagi, Widya Semakin Di Buat Takut,
Tabuhan Gamelan Sahut Menyahut, Campur Aduk Dengan Tarian Nur Yang Seperti Mengikuti Alunan Itu.
Kaki Seperti Ingin Lari Dan Melangkah Masuk Rumah, Tapi Nur Semakin Menggila, Ia Masih Menari Dengan Senyuman Ganjil Di Bibirnya.
Sampai Akhirnya Widya Memaksa Nur Menghentikan Tarianya, Ia Berteriak Meminta Temanya Agar Berhenti Bersikap Aneh, Dan Saat Itulah, Wajah Nur Berubah Menjadi Wajah Yang Sangat Menakutkan.
Sorot Matanya Tajam, Dengan Mata Nyaris Hitam Semua. Widya Menjerit Sejadi-Jadinya.
Kali Berikutnya, Seseorang Memegang Widya Kuat Sekali, Menggoyangkanya Sembari Memanggil Namanya.
Wahyu.
Widya Melihat Wahyu Yang Menatapnya Dengan Tatapan Bingung Plus Takut.
"Bengi Bengi Lapo As* Nari-Nari Gak Jelas Nang Kene!!" (Malam-Malam Ngapain Anji*G!! Nari Sendirian-
Disini Seorang Diri)
Jeritan Widya Rupanya Membangunkan Semua Orang, Termasuk Si Pemilik Rumah, Widya Melihat Sorot Mata Semua Orang Memandangnya, Tak Terkecuali Nur Yang Rupanya Baru Saja Keluar Dari Dalam Rumah.
"Onok Opo To Ndok?" (Ada Apa Sih Nak?) Kalimat Itu Lah Yang Pertama Kali Widya Dengar, Si Pemilik Rumah Tampak Khawatir, Namun Widya Lebih Tertuju Pada Nur, Ia Juga Memandang Dirinya, Mereka Sama-Sama Termangu Memandang Satu Sama Lain.
Kejadian Itu, Diakhiri Dengan Cerita Wahyu
Wahyu Menceritakan Semuanya, Awalnya Ia Hanya Ingin Menghisap Rokok Sembari Duduk Di Teras Posyandu, Kemudian Ia Tidak Sengaja Melihat Seseorang, Sendirian, Menari-Nari Di Tanah Lapang, Karena Penasaran, Wahyu Mendekat, Sampai Wahyu Baru Sadar Bila Yang Menari Itu Adalah Widya.
Semua Yang Mendengarkan Cerita Wahyu Hanya Bisa Menatap Nanar, Tidak Ada Yang Berkomentar, Si Pemilik Rumah Akhirnya Menyuruh Mereka Semua Bubar Dan Masuk Ke Dalam Rumah Lagi, Karena Hari Semakin Larut.
Si Pemilk Rumah, Berjanji Akan Menceritakan Ini Kepada Pak Prabu.
Namun Ada Satu Hal, Yang Sengaja Wahyu Tidak Ceritakan, Nanti, Ia Akan Menjelaskan Semuanya.
Namun Malam Itu, Benar-Benar Malam Yang Gila, Seolah-Olah Menjadi Pembuka Rangkaian Kejadian Yang Akan Mereka Hadapi Di Sela Tugas KKN Mereka Ke Dalam Situasi Yang Paling Serius.
Semua Orang Sudah Berkumpul, Memenuhi Panggilan Pak Prabu, Beliau Bertanya Tentang Bagaimana Kronologi Kejadian, Ayu Mengaku Tidak Tahu, Widya Mengatakan Ia Sedang Mengejar Nur Yang Pergi Keluar Rumah, Namun Nur Mengatakan Ia Hanya Pergi Ke Dapur Untuk Mencari Air Minum.
Semua Penjelasan Itu Tidak Membantu Sama Sekali, Namun Tampak Dari Raut Muka Pak Prabu, Ia Lebih Tertarik Bagaimana Widya Bisa Menari Bila Latar Belakangnya Saja Bahwa Ia Mengaku Tidak Pernah Belajar Menari Sebelumnya
Hari Itu, Pak Prabu Meminta Widya, Ayu Dan Wahyu, Menemaninya
Nur Pergi, Ia Masih Harus Mengerjakan Proker Individualnya.
Dengan Berbekal Motor Butut Yang Tempo Hari Digunakan Untuk Mengantar Mereka Masuk Ke Desa Ini, Kali Ini Di Gunakan Untuk Mengantar Mereka Ke Rumah Seseorang.
Wahyu Dengan Widya, Pak Prabu Berboncengan Dengan Ayu.
Jalur Yang Mereka Tempuh Hampir Sama Dengan Jalur Yang Tempo Hari, Anehnya, Kali Ini Widya Merasakan Sendiri, Untuk Sampai Ke Jalan Raya Tidak Sampai 1 Jam, Malah Tidak Sampai 30 Menit, Lalu, Bagaimana Bisa Ia Merasakan Waktu Selambat Itu Pada Malam Ketika Orang2 Desa Menjemput
Rumah Yang Pak Prabu Datangi, Rupanya Rumah Seseorang.
Melintasi Jalan Besar, Lalu Masuk Lagi Ke Sebuah Jalan Setapak Buatan, Rumahnya Bagus, Malah Bisa Di Bilang Paling Bagus Di Bandingkan Rumah Orang2 Desa, Hanya Saja, Rumah Itu Berdiri Di Tengah Sisi Hutan Belantara Lain.
Berpagar Batu Bata Merah, Dengan Banyak Bambu Kuning, Rumah Itu Terlihat Sangat Tua, Namun Masih Enak Dipandang Mata.
Di Depan Rumah, Ada Orang Tua, Kakek-Kakek, Sepuh, Berdiri Seperti Sudah Tau Bahwa Hari Ini Akan Ada Tamu Yang Berkunjung.
Tidak Ada Yang Tahu Nama Kakek Itu, Namun Pak Prabu Memanggilnya Mbah Buyut, Setelah Pak Prabu Selesai Menceritakan Semuanya, Wajah Mbah Buyut Tampak Biasa Saja, Tidak Tertarik Sama Sekali Dengan Cerita Pak Prabu Yang Padahal Membuat Semua Anak-Anak Masih Tidak Habis Pikir.
Sesekali Memang Mbah Buyut Terlihat Menatap Widya, Terkesan Mencuri Pandang, Namun Ya Begitu, Hanya Sekedar Mencuri Pandang Saja, Tidak Lebih.
Dengan Suara Serak, Mbah Buyut Pergi Kedalam Rumah, Beliau Kembali Dengan 5 Gelas Kopi Yang Di Hidangkan Di Depan Mereka.
"Monggo" (Silahkan) Kata Beliau, Matanya Memandang Widya.
Melihat Itu, Widya Menolak, Mengatakan Dirinya Tidak Pernah Meminum Kopi, Namun Senyuman Ganjil Mbah Buyut Membuat Widya Sungkan, Yang Akhirnya Berbuntut Ia Meneguk Kopi Itu Meski Hanya Satu Tegukan Saja.
Kopinya Manis, Ada Aroma Melati Didalamnya, Yang Awalnya Widya Hanya Mencoba-Coba Tanpa Sadar, Gelas Kopi Itu Sudah Kosong.
Tidak Hanya Widya, Semua Orang Di Tegur Agar Mencicipi Kopi Buatan Beliau, Katanya "Tidak Baik Menolak Pemberian Tuan Rumah"
Semua Akhirnya Mencobanya
Berikutnya. Wahyu Dan Ayu Kaget Setengah Mati, Sampai Harus Menyemburkan Kopi Yang Ia Teguk, Mimik Wajahnya Bingung, Karena Rasa Kopinya Tidak Hanya Pahit, Tapi Sangat Pahit, Sampai Tidak Bisa Di Tolerin Masuk Ke Tenggorokan.
Anehnya, Pak Prabu Meneguk Kopi Itu Biasa Saja.
"Begini" Kata Mbah Buyut, Beliau Menggunakan Bahasa Jawa Halus Sekali, Sampai Ucapanya Kadang Tidak Bisa Di Pahami Semua Anak. Ada Kalimat, Penari Dan Penunggu, Namun Yang Lainya Tidak Dapat Di Cerna.
Ia Menunjuk Widya Tepat Didepan Wajahnya, Mimik Wajahnya Sangat Serius.
Pak Prabu Mendengarkan Dengan Seksama, Lalu Berpamitan Pulang.
Sebelum Mereka Pulang, Mbah Buyut Memberi Kunir Tepat Di Dahi Widya, Katanya Untuk Menjaga Widya Saja.
Kunjungan Itu Sama Sekali Tidak Di Ketahui Tujuanya, Selama Perjalanan, Pak Prabu Bercerita, Tentang Kopi.
Kopi Yang Di Hidangkan Mbah Buyut Tadi Adalah Kopi Ireng Yang Di Racik Khusus Untuk Memanggil Lelembut, Demit Dan Sejenisnya, Bukan Kopi Untuk Manusia, Mereka Yang Belum Pernah Mencobanya, Pasti Akan Memuntahkanya, Namun, Bagi Lelembut Dan Sebangsanya, Kopi Itu Manis Sekali.
Semua Anak Memandang Widya.
Namun Pak Prabu Segera Mengatakan Hal Lain. "Sepurane Sing Akeh Nduk, Sampeyan Onok Sing Ngetut'i" (Mohon Maaf Ya Nak, Kamu, Ada Yang Mengikuti)
Selain Mengatakan Itu, Pak Prabu Juga Mengatakan Bahwa Tidak Perlu Takut, Karena Widya Tidak Akan Serta Merta Di Apa-Apakan, Hanya Di Ikuti Saja, Yang Lebih Penting, Widya Tidak Boleh Dibiarkan Sendirian, Harus Selalu Ada Yang Menemaninya, Untuk Itu, Pak Prabu Punya Gagasan.
Mulai Malam Ini, Mereka Akan Tinggal Dalam Satu Rumah, Hanya Dipisahkan Oleh Sekat Dari Bambu Anyam, Pak Prabu Hanya Meminta Satu Hal, Jangan Melanggar Etika Dan Norma Saja.
Pertemuan Itu Juga Di Minta Untuk Tidak Di Ceritakan Ke Siapapun Lagi, Bahkan Nur, Anton Dan Bima.
Tempat Tinggal Mereka Yang Baru Tepat Ada Di Ujung, Cukup Besar, Dan Bekas Rumah Keluarga Yang Merantau, Sekaligus Hal Ini Menjawab Pertanyaan Kenapa Jarang Di Temui Anak Seumuran Mereka Di Desa Ini, Rupanya, Kebanyakan Anak-Anak Yang Sudah Akil Baligh Pasti Pergi Merantau.
Dibelakang Rumah, Ada Watu Item (Batu Kali) Cukup Besar, Dengan Beberapa Pohon Pisang, Dan Di Kelilingi, Daun Tuntas.
Anton Awalnya Tidak Setuju Mereka Pindah, Karena Atmoser Rumahnya Yang Memang Tidak Enak Dan Itu Bisa Terlihat Dari Luar, Namun Ini, Perintah Dari Pak Prabu
Setelah Kejadian Itu, Ayu Sedikit Menghindari Widya.
Widya Paham Akan Hal Itu, Namun Wahyu Sebaliknya, Ia Mendekati Widya Dan Memberi Semangat Agar Tidak Mencerna Mentah2 Pesan Orang Tua Itu.
Disini, Wahyu Bercerita Kejadian Yang Tidak Ia Ceritakan Di Malam Kejadian Itu.
"Wid, Kancamu Cah Lanang Iku, Gak Popo Tah?" (Wid, Temanmu Yang Cowok Itu Baik-Baik Saja Kah?)
"Maksud'e Mas?"
"Cah Iku, Ben Bengi Metu Wid, Emboh Nang Ndi, Trus Biasane Balik-Balik Nek Isuk, Opo Garap Proker Tapi Kok Bengi?"
(Temanmu Itu, Setiap Larut Malam Keluar Wid, Entah Kemana, Trus Biasanya Baru Balik Pagi, Apa Sedang Mengerjakan Prokernya Tapi Kok Harus Malam?)
"Ra Paham Aku Mas" (Gak Ngerti Aku Mas)
"Trus" Kata Wahyu "Aku Sering Rungokno, Cah Iku Ngomong Dewe Nang Kamar"
(Aku Sering Denger Anak Itu.
2. KKN di Desa Penari versi Nur
KKN di Desa Penari versi Nur |
dari sini, cerita dimulai
mentions masih sama seperti yang dulu, untuk peraturan kita, lokasi, kampus, fakultas semua di rahasiakan.
untuk kalian yang sudah menebak atau tahu dimana latar lokasi cerita ini dimohon untuk tidak mengungkap sebagai penghormatan atas janji penulis kepada si pencerita.
untuk pengertianya, gw ucapkan terimakasih sebesar-besarnya.
November 2019
"Nur. tak telpon ket mau, kok gak diangkat-angkat seh" (Nur, aku telpon dari tadi kok gak diangkat sih)
"iya, maaf Yu, mau keturon aku" (iya maaf yu, tadi ketiduran aku) ucap Nur
"yo wes, engkok bengi tak susul yo" (ya sudah, nanti tak jemput ya) kata si penelpon
Nur segera merapikan tempat tidurnya, hidup merantau demi menyelesaikan pendidikanya di universitas yang sudah menjadi impianya sejak kecil kini tinggal menunggu bulan demi bulan. hanya tinggal menyelesaikan tugas terakhirnya, salah satunya, adalah tugas pengabdian pd masyarakat
orang lebih mengenalnya dengan KKN (Kuliah kerja nyata).
Malam ini, Ayu, teman sefakultasnya, baru saja membicarakan tentang rencananya, bahwa, ia, sudah memiliki tempat yang cocok untuk pelaksanaan KKN mereka, dan Nur akan ikut dalam observasi pengenalan pada desa tersebut.
di'sela Nur mempersiapkan keberangkatanya malam ini, ia teringat harus segera memberitahu temanya yang lain tentang observasi ini, karena ia tahu, bahwa KKN program mereka, harus di selesaikan bersama-sama. janji, sebagai sahabat yang harus lulus bersama-sama.
"Wid, nang ndi?"
(Wid, dimana?)
"nang omah Nur, yo opo, wes oleh nggon KKN'e" (di rumah Nur, gimana, sudah dapat tempat KKN'nya)
"engkok bengi Wid aku budal karo Ayu, doaken yo" (nanti malam Wid, aku berangkat sama Ayu, doakan ya)
"nggih. semoga di acc ya"
"Aamiin" balas Ayu, mematikan telpon
balas Nur mematikan telpon*
detik-demi detik berputar, tanpa terasa malam telah tiba, Nur melihat sebuah mobil kijang mendekat. dari dalam, keluar sahabatnya Ayu, di belakangnya, ada sosok lelaki.
mungkin itu adalah mas Ilham, kakak Ayu. pikir Nur dalam hati.
"Ayo. budal" kata Ayu, menggandeng Nur agar segera masuk ke dalam mobil.
mas Ilham membawakan barang Nur, kemudian mobil pun mulai berangkat.
"adoh gak Yu" (jauh tidak yu) tanya Nur,
"paling 4 sampe 6 jam, tergantung, ngebut ora" (paling 4 sampai 6 jam, tergantung ngebut ndak)
"sing jelas, desa'ne apik, tak jamin, masih alami. pokok'e cocok gawe proker sing kene susun wingi" (yang jelas, desanya bagus, tak jamin, masih alami, pokoknya cocok buat proker yang kita susun kemarin)
Ayu terlihat begitu antusias, sementara Nur, ia merasa tidak nyaman.
banyak hal yang membuat Nur bimbang, salah satunya, tentang lokasi dan sebagainya. sejujurnya, ini kali pertama Nur, pergi ke arah etan (Timur) sebagai, perempuan yang lahir di daerah kulon (barat) ia sudah seringkali mendengar rumor tentang arah etan, salah satunya, kemistisanya
Mistis, bukan hal yang baru bagi Nur, bahkan ia sudah kenyang dengan berbagai pengalaman akan hal itu, saat menempuh pendidikanya sebagai santriwati, mengabaikan perasaan tidak bisa di lakukan secara kebetulan semata. dan malam ini, belum pernah Nur merasa setidak'enak ini.
benar saja. perasaan tidak enak itu, terus bertambah seiring mobil terus melaju, salah satu pertanda buruk itu adalah ketika, sebelum memasuki kota J, dimana tujuanya kota B, Nur melihat kakek-kakek yang meminta uang di persimpangan, ia seakan melihat Nur. tatapanya, prihatin.
bukan hanya itu saja, si kakek, mengelengkan kepalanya, seolah memberikan tanda pada Nur yang ada didalam mobil, untuk mengurungkan niatnya.
namun, Nur, tidak bisa mengambil spekulasi apapun, ada temanya yang lain, yang menunggu kabar baik dari observasi hari ini.
hujan tiba-tiba turun, tanpa terasa, 4 jam lebih perjalanan ini ditempuh. Mobil berhenti di sebuah tempat rest area yang sepi, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan, Nur, melihat hutan gelap, yang memanggil-manggil namanya.
"Hutan. desa ini ada di dalam hutan" kata mas Ilham.
Nur tidak berkomentar, ia hanya berdiri di samping mobil yang berhenti di tepi jalan hutan ini. sebuah hutan yang sudah di kenal oleh semua orang jawatimur.
Hutan D********, tidak beberapa lama, nyala lampu dan suara motor terdengar. mas Ilham, melambaikan tanganya.
"iku wong deso'ne, melbu'ne kudu numpak motor, gak isok numpak mobil soale" (itu orang desanya, masuknya harus naik motor, mobil tidak bisa masuk soalnya)
Nur dan Ayu, mengangguk, pertanda ia mengerti. tanpa berpikir panjang, Nur sudah duduk di jok belakang, dan mereka berangkat
memasuki jalan setapak, dengan tanah tidak rata, membuat Nur harus memegang kuat- jaket bapak yang memboncengnya, tanah masih lembab, di tambah embun fajar sudah terlihat disana-sini, malu-malu memenuhi pepohonan rimbun. Nur, melihat sesosok, wanita. ia sedang menari di atas batu
kilatan matanya tajam, dengan paras elok nan cantik, si Wanita, tersenyum menyambut tamu yang sudah ia tunggu.
melihatnya dari balik jalan lain, Nur mendapati, si wanita sudah hilang, tanpa jejak. ia tahu, dirinya sudah di sambut dengan entah apa itu.
memasuki Desa, mas Ilham berpeluk kangen dengan seorang pria yang mungkin seumuran dengan ayahnya di rumah.
pria itu ramah, dan murah senyum, menyambut tanganya, Nur mendengar si pria memperkenalkan diri.
"kulo, Prabu" (saya Prabu)
"sepurane Ham, aku eroh, kene wes kenal suwe, tapi deso iki gak tau loh gawe kegiatan KKN" (saya minta maaf ham, aku tahu, kita sudah kenal lama, tapi desa ini tidak pernah di pakai kegiatan KKN)
"tolong lah mas" kata mas Ilham, "dibantu, adikku,"
suasana saat itu, tegang.
"GAK ISOK HAM" kata pak Prabu menekan mas Ilham dengan ekspresi tak terduga.
"ngeten loh pak, ngapunten, kulo nyuwun tolong, kulo bakal jogo sikap ten mriki, mboten neko-neko, tolong pak" (begini loh pak, maaf, saya minta tolong, saya akan menjaga sikan disini)
(saya tidak akan aneh-aneh. tolong pak) ucap Ayu, matanya berlinangan air mata, ia tidak pernah melihat Ayu sengotot ini, mimik wajah pak Prabu yang sebelumnya mengeras, kini melunak.
"piro sing KKN dek?" (berapa yang KKN nanti dek?)
dengan bersemangat Ayu menjawab. "6 pak"
hari itu berakhir, dengan persetujuan pak Prabu dan tentu saja, masyarakat sekitar, sebelum meninggalkan tempat itu, Ayu dan Nur berkeliling memeriksa desa sebentar.
disana ia sudah tahu proker apa saja yang akan menjadi wacana mereka, salah satunya, kamar mandi dengan air sumur
ia tahu, masyarakat mendapatka akses air hanya dari sungai, jadi terfkirkan mungkin sumur lebih efisien, di tengah mereka merundingkan berbagai proker kelak, Nur, terdiam melihat sebuah batu yang di tutup oleh kain merah.
di bawahnya, ada sesajian lengkap dengan bau kemenyan.
diatasnya, berdiri sosok hitam, dengan mata picing, menyala merah. meski hari siang bolong, Nur bisa melihat, kulitnya yang di tutup oleh bulu, serta tanduk kerbau, mata mereka saling melihat satu sama lain, sebelum Nur mengatakan pada Ayu, bahwa, mereka harus pulang.
"lapo to Nur, kok gopoh men" (kenapa sih Nur, kok kamu buru buru pergi)
"kasihan mas Ilham, wes ngenteni" ucap Nur.
"yo wes, ayok" Ayu menimpali.
mereka pun segera naik motor, sebelum keluar dari desa itu. sosok yang Nur lihat, apalagi bila bukan Genderuwo.
"Nur, jak'en Bima, yo, ambek Widya, engkok ambek kenalanku, kating" (Nur, ajak si Bima, sama Widya, sama kenalanku kating) ucap Ayu didalam mobil.
"Bima, lapo ngejak cah kui" (ngapain sih ngajak Bima)
"ben rame, kan wes kenal suwe" (biar rame, kan sudah kenal lama) sahut Ayu
"kok gak awakmu sing ngejak to" (kenapa bukan kamu saja yang ngajak) timpal Nur.
"kan awakmu biyen sak pondok'an, wes luwih suwe kenal" (kan kalian pernah satu pondok, jadi sudah kenal lebih lama) "pokok'e jak en arek iku yo" (pokoknya ajak anak itu ya)
"yo wes, iyo" Nur pun mengalah.
"tak telpone Widya, ben cepet di gawekno Proposal'e mumpung pihak kampus gurung ngerilis daftar KKN'e, gawat kalau pihak kampus wes ngerilis yo, mumpung wes oleh enggon KKN dewe" (biar Widya tak telpon, biar cepat di buatkan proposalnya)
(mumpung kampus belum buat daftar KKN nya, bisa gawat kalau sampai kampus udah buat daftarnya, mumpung kita sudah punya tempat KKN nya)
pelan, mobil itu pun meninggalkan jalanan hutan itu. Nur dan Ayu, kembali ke kotanya, mempersiapkan semua, sebelum mereka nanti kembali.
siang itu, Nur melihat Widya dan Ayu di hari pembekalan sebelum keberangkatan KKN mereka.
setelah menunggu cukup lama, akhirnya 2 orang yang akan bergabung dalam kelompok KKN mereka pun muncul, namanya adalah Wahyu dan Anton. mereka pun membicarakan semua proker dan menentukan-
jadwal keberangkatan. semua anak sudah setuju, termasuk Widya, yang hampir sepanjang hari terus menceritakan, bahwa ibunya memiliki firasat yang buruk pada tempat KKN mereka. Nur hanya diam dan mendengar, karena di dalam dirinya, ia merasakan hal yang sama.
Malam keberangkatan, Nur, Widya, Ayu, Bima, Wahyu dan Anton, sudah berkumpul, perjalanan di lanjutkan dengan mobil elf yang sudah mereka sewa untuk mengantarkan mereka ke pemberhentian dimana nanti mereka akan di jemput oleh warga desa. Nur masih bisa melihat temanya, Widya,
memasang wajah tidak nyaman.
hanya sebuah harap, yang Nur panjatkan, bahwa mereka berangkat dengan utuh dan semoga, pulang dengan utuh juga.
tetapi, tidak ada yang tahu, doa seperti apa yang akan di ijabah oleh tuhan.
gerimis mulai turun, sepanjang perjalanan, Nur hanya melihat ke jalanan yang lengang.
tepat di pemberhentian lampu merah, seseorang, menggebrak kaca mobil Elf'nya, Nur begitu terkejut sampai tersentak mundur, dari dalam mobil, Nur melihat pengemis tua itu, ia terus menggebrak
mobil, membuat semua yg ada didalam mobil kebingungan, termasuk si sopir yang berteriak agar lelaki tua itu berhenti sembari melemparkan recehan, dari bibirnya, Nur melihat ia berucap
"ojok budal ndok" (jangan berangkat nak) suaranya terdengar familiar, seperti suara wanita tua
sampailah mereka ditempat pemberhentian, setelah menunggu, terlihat rentetan cahaya motor mendekat dari seberang jalan setapak, Nur mengatakanya. "iku wong deso sing nyusul rek" (itu orang dari desanya yang jemput kita)
tanpa membuang waktu, mereka pun melanjutkan perjalan.
jalanan setapak, dengan lumpur karena gerimis, pohon besar dan gelap, dengan kabut disana-sini, terlihat di sepanjang perjalanan.
hanya terdengar suara motor berderu, tanpa ada suara binatang malam, namun, semua berubah ketika tiba-tiba, dari jauh, terdengar suara gamelan.
suaranya sayup-sayup jauh, namun, semakin lama semakin terdengar jelas, Nur mengamati tempat itu, aroma bunga melati tercium menyengat di hidungnya
masih mencari, darimana suara itu terdengar, tepat di antara rerumputan di samping jalan setapak. terlihat, seorang wanita menunduk
ia menunduk, kemudian melihat Nur, di ikuti dengan lenggak-lenggok lehernya, serta ayunan gerakan tangan dan lenganya, yang bergerak seirama dengan suara gamelan, Nur melihat wanita itu menari.
menari di tengah malam, di tengah, kegalapan hutan yang sunyi senyap.
gerakanya begitu anggun, meski motor terus bergerak, Nur bisa melihat ia menari dengan sangat mempesona, seakan-akan ia bertunjuk untuk sebuah panggung yang tidak bisa Nur lihat.
siapa yang menari di malam buta seperti ini. Nur terdiam dalam kengerian yang ia rasakan sendirian.
ketika motor berhenti dan sampailah di desa, Nur tidak mengatakan apapun, ia melihat pak Prabu menyambut mereka, saat pak Prabu mempersilahkan mereka ke tempat peristirahatan mereka selama di desa ini, Widya tiba-tiba mengatakanya.
"Pak, kok Deso'ne pelosok men yo"
(Pak, kok desanya jauh sekali ya)
"pelosok yo opo to mbak, wong tekan dalam gede mek 30 menit loh" (pelosok darimana sih mbak, orang dari jalan raya hanya 30 menit)
Nur hanya melihat saja, ia tidak mau mengatakan apapun, termasuk wajah Ayu yg memerah entah karena malu atau apa.
mungkin, Ayu merasa Widya sudah melakukan hal yang tidak sopan, sebagai tamu, Widya memang seharusnya tidak mengatakan itu. di tengah perdebadan antara Widya dan Ayu, tiba2 dari balik pohon jauh, sosok hitam dengan mata merah tengah mengintai mereka. sialnya, hanya Nur yg melihat
akhirnya, perdebadan itu selesai, Nur meninggalkan sosok itu, yg masih mengintip dari balik pohon
ia masuk ke sebuah rumah milik salah satu warga yang tidak berkeberatan, untuk mereka tinggali selama menjalankan tugas KKN mereka, disana rupanya perdebadan Widya dan Ayu berlanjut
"koen iku kok ngeyel seh, wes dikandani, gak sampe setengah jam iku mau" (kamu kok keras kepala, sudah dikasih tau, tadi gak sampai setengah jam)
Nur masih melihat, alih-alih menengahi, Nur lebih kepikiran dengan hal lain, salah satunya, genderuwo itu, untuk apa ia mengintainya.
namun, tetiba, Widya mengatakan sesuatu yang membuat Nur tidak bisa mengabaikanya.
"Awakmu mau krungu ta gak, onok suoro gamelan nang tengah alas mau?" (kamu tadi dengar atau tidak, ada suara gamelan di tengah hutan tadi?!)
namun ucapan Widya di tanggapi Ayu dengan nada mengejek. "halah, palingan yo onok acara nang deso tetangga, opo maneh" (halah, paling tadi kebetulan ada yang mengadakan acara di desa tetangga, apalagi)
Nur, yang mendengar itu bereaksi pada Ayu.
"Yu, gak onok loh deso maneh nang
-kene)
"jare wong biyen, nek krungu suoro gamelan, iku pertanda elek" (kata orang dulu, bila mendengar suara gamelan, itu artinya sebuah pertanda buruk)
Malam itu, berakhir, meski perdebadan masih terus berlanjut di batin mereka masing-masing.
pertanda apa yang sudah menunggu.
1. KKN di Desa Penari versi Ilham
KKN Di Desa Penari (Versi ini hanya berkembang dari cerita sumber yang terlibat langsung)cerita dari mas ilham, kakak ayu lebih menggambarkan secara gamblang semuanya. sebenarnya sasaran utama memang ayu, ayu bukan hanya ngewe dgn bima, tapi
dgn pak prabu juga.. sebenarnya desa itu tak dapat dilihat eksistensinya oleh manusia.
Sebenarnya crita dari mas ilham (flashbacknya) dia berniat menolong temannya (pak prabu), karena jiwa pak prabu dan masyarakat disitu tersandera.. batu nisan yg ditutupi kain hitam adalah batu
yg bertuliskan nama-nama mereka ingat, kata mbah buyut "kopi iki nggo penghuni alas kene, nek wong biasa sing ngombe rasanya pait"pak prabu dgn santainya meminum kopi itu, widya juga merasakan manis dan bau melati saat minum kopi, karena dia ditempel oleh jin penari yg menyukaix
ingat juga kata pak prabu diending cerita "wes mesti kalah paling mbah buyut juga gak bisa melawan mereka",, itu menunjukkan kalau kejadian seperti ini sudah beberapa kali pernah terjadi.
kang cilok kaget dan sebenarnya tau kalau dihutan mistis itu tidak ada desa, dan tau cerita-cerita mistis yg melekat disana. Makanya dia menyarankan agar widya dan wahyu cepat pulang. Sampai akhirnya mereka kemalaman, dan menemui jin penunggu gerbang, motor mereka mogok dan
ditolong oleh orang sekitar, mereka diberi kue dan sebagian dimasukknya kedalam wadah untuk dibawa pulang.
Sampai ditempat mereka menginap, bungkusan itu dibuka dan ternyata isinya kepala monyet yg masih mengeluarkan darah segar, terus apa yg mereka makan?
tubuh daging monyet itu. Mereka mematuhi aturan yg disebutkan mbah buyut, apa yg dikasih jangan ditolak, terima saja, bisa lain cerita seandainya mereka menolak.
mereka bisa kembali ke desa mgkin karena mereka pernah bermalam disana.
Saat pertama kali mereka dtg, mereka dijemput dengan motor butut, dan waktu yg ditempuh bisa berbeda beda antara 1 orang dgn yg lain.
Nur dan temannya mengatakan kalo perjalanan tidak ada 30 menit, sedangkan widya mengatakan perjalanan ditempuh dgn waktu berjam jam.
Setiap jiwa yg ingin pergi dari desa itu harus digantikan oleh jiwa yg lain, ilham kakak ayu sebenarnya berniat menolong pak prabu dengan menjadikan widya sebagai sasaran pengganti jiwa yg tertahan (Pak prabu adalah teman ayahnya ilhan dan ayu).
tapi lain cerita setelah mereka masuk desa, widya ternyata disukai oleh jin penari, bukti dia disambut dan beberapa kali jin penari berkidung serta menunjukkan eksistensinya. Nur? tidak mungkin karena dia memilik penjaga (mbah Ndok) yg sampai dituturkan kalo mbah Ndok melawan
hampir setengah penghuni mistis di desa itu. Sasaran sebenarnya adalah ayu, rasa cintanya kepada bima dimanfaatkan oleh jin, lagi2 jin selalu menjebak manusia. Bima suka widya, tapi ayu suka bima. itulah mengapa proker ayu jadi satu dgn bima.
Syarat bima utk mendapatkan widya adalah ia harus mendapatkan mustika putih dgn jalan harus mau wik wik sama jin penari (diversi Nur iya melihat bima wik wik dgn ular, anton melihat dia sdg onani dan dengar suara perempuan disitu, sebenarnya dia tidak onani, tapi sdg bersetubuh dgn jin)
ingat kata pak prabu tentang selendang penari? siapa saja yg melihat selendang itu akan terpikat dan tak kuasa menolak.
Saat Nur sdg mencari widya, dia ke tempat pak prabu, tiba-tiba dari rumah pak prabu keluar ayu menggunakan selendang itu. Ayu sendirian tanpa teman-teman mereka
Nur bertanya ngapain kamu disini, ada apa kamu?? Ayu lantas pergi tanpa menjawab pertanyaan dari Nur
Ayu memikat bima dgn selendang itu, mustika putih yg bima titipkan ke ayu? hilang dan ditemukan Nur.
Desa itu sebenarnya tidak ada, kalo petilasan memang benar adanya.
semua yg menebak nebak letak desa dan hutan belum ada yg tepat. Mereka menetap disitu, menjadi jiwa yg terkungkung, tidak akan selamat jika mereka (pak prabu dan penduduk desa) keluar dari desa dan hutan itu.
Kenapa pak prabu sebagai kepala desa tidak pernah pergi ke kota?
proker bima dikebon yg katanya setiap hari ia ikut penduduk ke kota juga tidak benar, proker bima dekat dgn petilasan, dia hanya sibuk mencari cara memikat widya, ngewe sama ayu dan ngewe sama jin.
Yg benar2 pernah keluar pergi ke Kota ya cuman widya dan wahyu
Versi ini aku dapat dari komentar netizen dipostinganku sebelumnya (KKN Di Desa Penari) yaitu kak Steel Andre. Sengaja aku post biar yg lain juga baca.
Selamat membaca 🤞
Uahhh rame banget nih, 😮😮
Kagak ada yang mau mutualan nih??
Oh iya btw thread kali ini aku dapet di facebook yah, aku buat thread ini agar teman" juga bisa tau ceritanya dari sudut pandang ilham (kakaknya ayu)
😊
Buat yang nanya ini valid atau nggak?
Seperti yg tadi udah aku jelaskan di atas versi ini aku dapat dari komentar netizen ) yaitu kak Steel Andre (Facebook), sengaja aku post biar teman yang lain juga baca yah.😁😊
Posting Komentar untuk "Cerita Mistis KKN di Desa Penari 2019 Versi NUR,WIDYA,ILHAM"