Tugas Makalah Kewarganegaraan Perpajakan di Indonesia
Menurut UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Beberapa fungsi pajak diantaranya :
Fungsi Anggaran (Budgetair), sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
Fungsi Mengatur (Regulerend), pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
Fungsi Stabilitas, dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
Fungsi Redistribusi, pendapatan, pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Mengenai hal diatas maka pada makalah ini akan membahas tentang bagaimana peran warga negara dalam ketaatan membayar pajak dan retribusi serta kaitannya dengan hukum Islam. Dan didalam makalah ini telah mengemas hasil survey yang berdasarkan pada beberapa pertanyaan seputar pajak dan retribusi yang dilaksanakan di desa bojong kulur tepatnya di RT03 RW03 kecamatan gunung putri kabupaten bogor hari minggu 30 juni 2019 di kediaman bapak Syahroni selaku ketua RT03 RW03 dimana di desa tersebut terdapat 240 anggota keluarga termasuk didalamnya pendatang yang berjumlah 120 anggota keluarga. Mayoritas penduduknya beragama Islam dan rata-rata pekerjaannya adalah sebagai wiraswasta dan sebagian sebagai karyawan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pemahaman warga negara tentang pajak?
2. Apakah manfaat yang bisa dirasakan setelah membayar pajak?
3. Bagaimanakah tingkat ketaatan warga negara dalam membayar pajak?
4. Apakah yang mendasari warga negara membayar pajak?
5. Bagaimanakah hubungan antara pajak dengan zakat?
6. Bagaimanakah Pajak dalam Islam?
7. Bagaimanakah masukan dan kritikan mengenai pajak di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah kewarganegaraan
2. Untuk menambah wawasan, pengalaman, serta pengetahuan tentang kewajiban warga negara dalam ketaatan membayar pajak dan kontribusi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemahaman Warga Negara Tentang Pajak
Pajak merupakan jalur penerimaan anggaran negara yang terbesar yang masuk ke APBN. Pajak adalah iuran atau pungutan wajib yang harus dibayar oleh rakyat (wajib pajak) kepada negara berdasarkan undang-undang, dimana uang pajak tersebut akan digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat umum akan tetapi sebagai catatan bahwa manfaat pajak tidak bisa dirasakan secara langsung.
Melalui pajak suatu negara bisa melaksanakan kebijakan pemerintahan dan pembangunan-pembangunan yang berdasar pada kepentingan dan kemakmuran warga negaranya serta untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Jadi tanpa pajak bisa jadi Negara tersebut tidak akan bisa melaksanakan kebijakan pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan perpajakan di Indonesia secara khusus diatur di dalam pasal 23A UUD 1945, dimana pajak adalah kontribusi yang dikenakan kepada seluruh warga negara Indonesia, warga negara asing dan warga yang tinggal secara kumulatif 120 hari di wilayah Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan.
B. Manfaat Setelah Membayar Pajak
Untuk manfaat daripada pembayaran pajak yang sudah bisa dirasakan hingga saat ini khususnya di desa bojong kulur diantaranya digunakan untuk pembangunan dan renovasi jalan-jalan umum, perbaikan saluran air, dan pembangunan lainnya yang pada dasarnya itu semua adalah hak untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga negara yang sudah memenuhi kewajiban pajak dan hal itu dibenarkan oleh masyarakat bojong kulur RT03 RW03. Seperti apa yang dikatakan oleh pak syahroni (ketua RT03 RW03) desa bojong kulur bahwa pajak itu dari rakyat kepada rakyat dan untuk rakyat maka memang sudah seharusnya alokasi pajak bisa dirasakan dan dinikmati oleh rakyat.
Hanya saja ada beberapa kendala dan hambatan yang dialami warga negara dalam mengajukan proposal untuk melaksanakan pembangunan dikarenakan apabila ditemukan kekurangan atau belum sempurnanya pembayaran pajak dari desa yang bersangkutan maka proposal tersebut bisa saja ditahan atau ditolak. Jadi alurnya adalah warga negara mengajukan proposal ke kelurahan yang selanjutnya akan diteruskan ke kecamatan dan seterusnya hingga tingkat provinsi. Sedangkan desa bojong kulur mengalami proses pengajuan mulai dari tahun 2017 hingga 2018 dan pada akhir tahun 2018 dana dari tingkat provinsi bisa dicairkan sesebar Rp, 100.000.000, yang digunakan untuk perbaikan jalan umum.
Namun apabila ada dana yang tidak terpakai atau kosong di provinsi maka dana tersebut bisa digunakan untuk infrastruktur khususnya untuk renovasi rumah tidak layak huni dengan memperhatikan beberapa aspek seperti bangunan rumah yang terbuat dari kayu atau rumah yang hampir rubuh. Adapun dana desa, warga desa bojong kulur menyebutkan bahwa dana desa tersebut memang digunakan khusus untuk kepentingan pembangunan desa dan kesejahteraan warganya seperti terbangunnya sarana dan prasarana penunjang aktifitas ekonomi desa.
Adapun manfaat yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat dari pajak mengacu pada 4 fungsi seperti fungsi anggaran, fungsi mengatur, fungsi stabilitas, dan fungsi redistribusi diantaranya:
1. Pengadaan subsidi pangan.
2. Pengadaan subsidi transportasi umum.
3. Pengadaan dan perbaikan fasilitas umum (jalan, jembatan, trotoar, sekolah, dan lainnya).
4. Pengadaan subsidi kesehatan.
5. Pengadaan subsidi pendidikan dan lain-lain.
C. Tingkat Ketaatan Wajib Pajak Dalam Membayar Pajak
Warga desa bojong kulur RT03 RW03 merupakan warga negara yang taat dalam pembayaran pajak khususnya pajak bumi dan bangunan (PBB). Meskipun sempat terjadi beberapa kasus tunggakan pembayaran pajak. Namun hal tersebut telah dibenahi. Bahkan desa bojong kulur masuk ke daftar 100 desa terbaik dalam skala nasional dan peringkat 1 ditingkat kabupaten bogor begitupun juga peringkat 1 ditingkat provinsi jawa barat. Hal tersebut tidak lain dikarenakan tingkat ketaatan wajib pajak dalam membayar pajak. Bahkan desa bojong kulur menjadi desa yang memberikan pemasukan pajak terbesar di kabupaten bogor.
Semakin taat wajib pajak dalam membayar pajak maka pembangunan dan kebijakan pemerintahan bisa dilaksanakan dengan lancar tanpa kendala. Adapun keluhan yang pernah dirasakan oleh warga adalah sulitnya warga ketika ingin membayar pajak dikarenakan kantor pajak yang jauh dan sulit dijangkau. Wajib pajak saat itu harus membayar pajak di kantor pajak yang ada di cileungsi. Akan tetapi saat ini telah disediakan mobil pajak keliling yang merupakan kebijakan daripada pemerintah daerah atas usulan warga yang mana mobil pajak tersebut keliling setiap satu minggu sekali, sebulan sekali, terkadang mengunjungi rumah ketua rw dan kantor desa. Prinsip tersebut seperti sistem jemput bola. Jadi kebijakan itu sangat memudahkan wajib pajak dalam membayar pajak.
Apabila wajib pajak tidak taat maka masalah yang bisa terjadi adalah seperti yang sudah diatur didalam undang-undang nomor 28 tahun 2007 tentang ketentuan umum perpajakan (KUP) yang mana apabila wajib pajak tidak membayar pajak maka akan dikenai hukuman penjara minimal 6 bulan dan maksimal 6 tahun penjara ditambah denda 2 hingga maksimal 4 kali pajak yang terhutang, lalu besaran subsidi berkurang, negara menjadi rugi karena anggaran yang masuk berkurang, tidak bisa menikmati fasilitas negara yang dibangun dari pajak, dan masalah yang paling besar adalah kegiatan pemerintahan menjadi terhambat dan negara memiliki kemungkinan untuk berhutang.
D. Dasar Warga Negara Membayar Pajak
Pajak merupakan kewajiban wajib pajak yang harus dipenuhi dan sudah diatur didalam undang-undang. Slogannya adalah orang bijak taat bayar pajak. Jadi meskipun ada sebagian warga yang mengatakan bahwa kewajiban pajak itu terlepas dari keterikatan dengan agama Islam namun secara tidak langsung menjadi orang yang taat dalam membayar pajak merupakan suatu kepatuhan kepada pemerintah melalui aplikasi pajak.
Dengan kata lain seseorang yang yang taat membayar pajak maka dia telah menjalankan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat”.
Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847].
Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti hadits diatas bagaimana seharusnya rakyat menyikapinya. berwasiat kepada kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selagi dia muslim).
E. Hubungan Pajak Dengan Zakat
Pajak dan zakat sifatnya sama-sama wajib dan harus dipenuhi atau dibayarkan. Tujuan daripada keduanya secara umum juga sama yaitu untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Wajib pajak baru akan dikenai kewajiban membayar pajak apabila penghasilannya telah memenuhi syarat batas minimum yang telah ditentukan, begitupun dengan zakat, yang mana seseorang itu baru akan diwajibkan membayar zakat apabila penghasilannya sudah mencapai nishab.
Tidak taat membayar pajak akan dihukum langsung di dunia sekaligus mungkin juga di akhirat karena tidak taat terhadap pemimpin. Sedangkan tidak membayar zakat padahal dia telah diwajibkan untuk berzakat maka dia akan berdosa dan di akhirat akan mendapatkan balasannya.
Pajak Bumi di dalam Islam, Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam.
1. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.
2. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.
Di antara sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ialah:
1. Zakat, yaitu kewajiban setiap muslim yang mempunyai harta hingga mencapai nishabnya. Di samping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri zakatnya dan diberikan kepada yang membutuhkan, penguasa juga mempunyai hak untuk menarik zakat dari kaum muslimin yang memiliki harta, lebih-lebih apabila mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan oleh para petugas zakat (amil) yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan dibagikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah : 60. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya amil-amil zakat yang ditugaskan oleh pemimpin kaum muslimin baik yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ataupun generasi berikutnya.
2. Harta warisan yang tidak habis terbagi. Di dalam ilmu waris (faraidh) terdapat pembahasan harta yang tidak terbagi. Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ahli faraidh. Pendapat yang pertama, harus dikembalikan kepada masing-masing ahli waris disesuaikan dengan kedekatan mereka kepada mayit, kecuali salah satu dari istri atau suami. Pendapat kedua mengatakan, semua harta yang tidak terbagi/kelebihan, maka dikembalikan ke baitul mal/kas negara. Walau demikian, suatu ketika harta yang berlebihan itu tidak bisa dikembalikan kepada masing-masing ahli waris, semisal ada seorang meninggal dan ahli warisnya seorang janda saja, maka janda tersebut mendapat haknya 1/6, dan sisanya –mau tidak mau- harus dikembalikan ke baitul mal.
3. Jizyah, adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya.
4. Ghanimah dan fai’. Ghanimah adalah harta orang kafir (al-harbi) yang dikuasai oleh kaum muslimin dengan adanya peperangan. Sedangkan fai’ adalah harta orang kafir al-harbi yang ditinggalkan dan dikuasai oleh kaum muslimin tanpa adanya peperangan. Ghanimah sudah ditentukan oleh Allah pembagiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal : 41, yaitu 4/5 untuk pasukan perang sedangkan 1/5 yang tersisa untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya melalui baitul mal. Sedangkan fai’ pembagiannya sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr : 7, yaitu semuanya untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya (juga) melalui mal.
5. Kharaj, hal ini telah kami jelaskan dalam point : Pajak Bumi Dalam Islam, diatas.
6. Shadaqah tathawwu, yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang digunakan untuk kepentingan bersama.
7. Hasil tambang dan semisalnya.
Atau dari pemasukan-pemasukan lain yang dapat menopang anggaran kebutuhan pemerintah, selain pemasukan dengan cara kezhaliman semisal badan usaha milik negara.
Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya:
1. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabnya. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.
2. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir, karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin
3. Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak.
4. Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya. [Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim].
F. Pajak Dalam Islam
Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus hafizhahullah Membedakan dua jenis pajak yang dinamakan oleh sebagian ahli fikih dari kalangan Malikiyah dengan “al-wazha-if” atau “al-kharraj“; dan di kalangan ulama Hanafiyah dinamakan dengan “an-nawa-ib“, yaitu pengganti pajak perorangan dari Sulthan; sedangkan di sebagian ulama Hanabilah dinamakan dengan “al-kalf as-sulthaniyah“, kedua jenis pajak ini terbagi menjadi :
1. Pajak yang diambil secara ‘adil dan memenuhi berbagai syaratnya.
2. Pajak yang diambil secara zhalim dan melampaui batas.
Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar).
Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat. Allah ta’ala berfirman yang artinya,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar. [Al Hujuraat: 15]. Dan firman-Nya yang artinya,
Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [At Taubah: 41].
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan [Al Baqarah: 195].
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [Ash Shaff: 11].
Dengan demikian, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa besaran beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga pendapat An Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan harta selain zakat.
Termasuk dari apa yang kami sebutkan, (pungutan dari) berbagai fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, yaitu (yang memberikan) manfaat kepada seluruh masyarakat dan perlindungan mereka dari segi keamanan (militer) dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya (harta) untuk merealisasikannya sementara hasil dari zakat tidak mencukupi. Bahkan, apabila dakwah kepada Allah dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, (maka kewajiban pajak dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan itu), karena merealisasikan hal tersebut merupakan kewajiban bagi tokoh kaum muslimin dan biasanya seluruh hal itu tidak dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan zakat. Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“, sesuatu dimana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu bersifat wajib.
Kemudian, setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”, tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil. Namun, ketetapan ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu:
1. Bait al-maal mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada.
2. Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.
3. Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan negara yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at.
Pajak jenis ini, yang dibagikan secara adil dan dengan cara yang benar telah disebutkan oleh para ahli fikih empat madzhab dengan penamaan yang berbeda-beda sebagaimana hal ini didukung oleh perbuatan ‘Umar Bin Khathab radliallahu ‘anhu di masa kekhalifahannya, dimana beliau mewajibkan pajak sebesar 10% kepada para pedagang ahlu al-harb, sedangkan untuk pedagang ahlu adz-dzimmah sebesar 5%, dan 2,5% bagi pedagang kaum muslimin.
Sedangkan pajak jenis kedua yang diambil secara tidak wajar dan zhalim, maka hal itu tidak lain merupakan bentuk penyitaan sejumlah harta yang diambil dari pemiliknya secara paksa tanpa ada kerelaan darinya. Hal ini menyelisihi prinsip umum syari’at Islam yang terkait dengan harta, yaitu hukum asal dalam permasalahan harta adalah haram diganggu karena berpedoman pada dalil-dalil yang banyak, diantaranya adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari jiwanya. (HR. Imam Ahmad V/72 No.20714).
Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta dan kerhormatan-kehormatan kalian adalah haram atas sesama kalian (untuk dilanggar). (HR. Muslim).
Berdasarkan hal ini, maka berbagai hadits, baik yang shahih maupun yang tidak, yang mencela para pemungut pajak dan mengaitkannya dengan siksa yang berat, kesemuanya dibawa kepada makna pajak yang diberlakukan secara tidak wajar dan zhalim, yang diambil dan dialokasikan tanpa hak dan tanpa adanya pengarahan. Seperti memungut pajak dipergunakan oleh para raja dan penguasa serta pengikutnya untuk memenuhi kepentingan dan syahwat mereka dengan mengorbankan kaum fakir dan rakyat yang tertindas
Inilah kondisi riil yang tersebar luas di pelosok dunia ketika Islam telah berkembang. Berbagai pajak yang tidak wajar diwajibkan oleh beberapa pemerintahan pada saat ini di tengah-tengah manusia dan atas kaum fakir, khususnya kaum muslimin. Kemudian, pajak tersebut disetorkan kepada para pemimpin, penguasa dan kalangan elit, yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi syahwat dan kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai protokol resmi kenegaraan ketika menerima tamu dari kalangan para raja dan pemimpin. Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai pesta dan festival yang di dalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras, mempertontonkan aurat, pertunjukan musik dan tari serta kegiatan batil lainnya yang jelas-jelas membutuhkan biaya yang mahal. Maka, pajak jenis ini seperti yang dinyatakan oleh sebagian ulama bahwa pajak tersebut justru dipungut dari kalangan miskin dan dikembalikan kepada kalangan elit.
G. Kritik Dan Masukan Mengenai Pajak Di Indonesia
a. Kritik
1. Masih kurang puasnya warga terhadap pemerintah mengenai terjaminnya dana untuk desa itu sampai kepada desa sesuai dengan anggaran yang dikeluarkan dari pusat.
2. Kurangnya ketegasan dalam menindak pelaku curang di dalam badan perpajakan, dan badan-badan negara yang memegang dana yang berasal dari pajak.
3. Kurang tegasnya hukuman bagi para pelaku korupsi khususnya pajak yang mana seharusnya tidak hanya dihukum dengan penjara dan membayar denda uang saja melainkan juga disita semua harta dan kekayaannya agar menjadi efek jera.
4. Kurangnya penyediaan pelayanan dan fasillitas yang mempermudah wajib pajak dalam membayar pajak.
5. Masyarakat menyayangkan atas kebijakan pemerintah yang dinilai kurang tegas dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Indonesia. Belajar dari Negara termakmur di dunia yaitu Denmark, meskipun ikan sebagai kekayaan alam terbesarnya namun Denmark bisa menjadi Negara termakmur. Padahal jika dibandingkan dengan Indonesia, Indonesia memiliki laut yang luas, ada banyak jenis ikan, Namun Indonesia tidak disebut sebagai Negara termakmur dikarenakan potensi dari lautnya.
b. Saran Dan Masukan
1. Pemerintah lebih meningkatan terjaminnya dana yang khusus untuk dialokasikan kepada desa.
2. Peningkatan ketegasan hukum untuk para pelaku korupsi.
3. Dana desa harus tersalurkan dengan benar dan sesuai.
4. Peningkatan penyediaan pelayanan dan fasilitas yang memudahkan wajib pajak untuk membayar pajak.
5. Pemerintah agar lebih sadar bahwa potensi kekayaan alam Indonesia ini sejatinya adalah benar-benar ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pajak adalah kebijakan yang diberlakukan di Indonesia yang mana tujuannya adalah untuk sepenuhnya ditujukan kepada rakyat yang meliputi, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia melalui dilaksanakannya berbagai macam kebijakan pemerintahan seperti pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur, stabilitas dan pemerataan ekonomi yang berlandaskan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adapun penetapan pajak di samping zakat, apabila tidak ditemukan sumber keuangan untuk memenuhi suatu kebutuhan negara kecuali dengan adanya penetapan pajak, maka boleh memungut pajak bahkan hal itu menjadi wajib dengan syarat kas Bait al-Maal (kas negara) kosong, dialokasikan dan didistribusikan dengan benar dan ‘adil berdasarkan penjelasan di atas mengenai pajak yang ‘adil dan tindakan ‘Umar ibn al-Khaththab radliallahu ‘anhu yang mendukung hal tersebut.
Posting Komentar untuk "Tugas Makalah Kewarganegaraan Perpajakan di Indonesia"