JURNAL PERJANJIAN FACTORING BAGI INDUSTRI KECIL
Factoring, perjanjian,klien |
ABSTRACT
Business development by business actors is using factoring financing. The factoring agreement raises the accountability of the parties, one of whom is the client. This study aims to reveal the client's accountability in the factoring agreement and how it should be in the future in order to realize justice for the parties. The research method used is mixed methode, with legal pluralism approach. It is known that the accountability of the client that is visible from his rights and obligations is inconsistent with the principles of factoring.
Business development by business actors is using factoring financing. The factoring agreement raises the accountability of the parties, one of whom is the client. This study aims to reveal the client's accountability in the factoring agreement and how it should be in the future in order to realize justice for the parties. The research method used is mixed methode, with legal pluralism approach. It is known that the accountability of the client that is visible from his rights and obligations is inconsistent with the principles of factoring.
Keywords: Factoring, agreements, clients
ABSTRAK
Pengembangan usaha oleh para pelaku usaha ada yang menggunakan pembiayaan factoring. Perjanjian factoring menimbulkan pertanggungjawaban para pihak, salah satunya adalah klien. Penelitian ini bertujuan mengungkap pertanggungjawaban klien dalam perjanjian factoring dan bagaimana seharusnya pada masa mendatang agar dapat mewujudkan keadilan bagi para pihak. Metode penelitian yang digunakan adalah mixed methode, dengan pendekatan legal pluralism. Diketahui bahwa pertanggungjawaban klien yang terlihat dari hak dan kewajibannya terdapat ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip factoring.
Kata kunci: Factoring, perjanjian,klien
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembiayaan merupakan salah satu faktor utama penentu keberhasilan suatu usaha. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan pelaku usaha untuk membiayai usahanya agar berkembang pesat sesuai harapan. Factoring merupakan salah satu jenis pembiayaan yang sangat potensial bagi pelaku usaha termasuk industri kecil. Dengan factoring, perusahaan dapat memperoleh pembiayaan lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan cara memperoleh dana dari bank. Di samping itu dengan didukung tenaga-tenaga yang berpengalaman dan ahli di bidangnya, perusahaan anjak piutang dapat membantu mengatasi kesulitan dalam bidang pengelolaan kredit, sehingga penjual piutang (kreditor) dapat lebih mengkonsentrasikan diri pada kegiatan peningkatan produksi dan penjualan.
Factoring merupakan salah satu pembiayaan yang dapat dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan sebagaimana ditentukan dalam Keppres Nomor 61 Tahun 1988 yang kemudian dicabut dengan keluarnya Perpres Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Pertimbangan pemerintah mengeluarkan Keppres tersebut adalah untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, masyarakat memerlukan dana, dan penyediaan dana itu dipandang harus diperluas sehingga Reorientasi Pertanggungjawaban Klien Dalam Perjanjian Factoring Bagi Industri Kecil peranannya menjadi sarana sumber dana pembangunan1.
1 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Lembaga Pembiayaan., Yogyakarta: FH. Universitas Gadjah Mada, 1994, hlm. 1
Prinsip utama dalam pengadaan lembaga pembiayaan ini adalah untuk membantu pengusaha kecil dan menengah dalam pengadaan modal untuk kelangsungan usaha. Hal ini terlihat dari tidak adanya kewajiban bagi pengusaha untuk menyerahkan jaminan kebendaan (collateral) untuk memperoleh dana melalui lembaga pembiayaan, yang salah satunya adalah melalui factoring. Hal tersebut berbeda dengan bank, yang sudah ditentukan dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 yang kemudian diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998, yang mewajibkan debitor untuk menyerahkan jaminan.
Pasal 1 angka 6 Perpres R.I. Nomor 9 Tahun 2009 menyebutkan bahwa “Perusahaan Anjak Piutang (Factoring Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang jangka pendek beserta pengurusan piutang tersebut.”
Anjak piutang (factoring) merupakan kegiatan yang dasarnya adalah perjanjian. Perjanjian anjak piutang tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pengaturan yang ada sampai saat ini hanya bersifat administratif, sedangkan hak dan kewajiban para pihak tidak diatur. Perjanjian anjak piutang dapat masuk dan berkembang di Indonesia berdasarkan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata). Perjanjian anjak piutang dapat ditundukkan pada KUHPerdata berdasarkan Pasal 1319, yang mengatur tentang perjanjian bernama dan tidak bernama.
Dalam perjanjian anjak piutang, kewajiban perusahaan anjak piutang pada pokoknya adalah membayar piutang yang telah dibelinya kepada klien, klien berhak atas pembayaran jumlah piutang yang
dijual kepada perusahaan anjak piutang. Sebaliknya klien mempunyai kewajiban untuk menjamin keberesan semua peralihan piutang secara yuridis kepada perusahaan anjak piutang. Klien wajib menjamin bahwa piutang yang dialihkan itu bebas dari segala hambatan. Termasuk dalam hal ini adalah mengenai hambatan yang timbul dari hubungan klien dengan customer.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban para pihak dalam perjanjian factoring terdapat perbedaan antara factoring jenis recourse factoring dan without recourse factoring. Dalam perjanjian factoring yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, pada umumnya perjanjian ini dibuat dalam bentuk baku. Perjanjian baku adalah perjanjian yang disusun secara sepihak oleh salah satu pihak yang pada umumnya memiliki bargaining position lebih kuat, sedangkan pihak lainnya yang biasa disebut adherent hanya memiliki pilihan untuk menerima atau menolak perjanjian tersebut tanpa ikut menentukan isi maupun bentuk perjanjian.
Dalam perjanjian factoring yang menyusun perjanjian adalah pihak perusahaan anjak piutang (factoring company). Sebagai penyusun perjanjian seringkali perusahaan anjak piutang membuat klausula yang lebih menekankan hak perusahaan anjak piutang dibandingkan kewajibannya dan pada sisi lain lebih menekankan pada kewajiban klien daripada haknya, termasuk dalam hal pertanggungjawaban para pihak. Dalam perjanjian anjak piutang jenis recourse factoring, maka risiko tidak terbayarnya piutang menjadi tanggung jawab klien. Dalam perjanjian anjak piutang jenis without recourse factoring, maka risiko tidak terbayarnya piutang menjadi tanggung jawab pihak perusahaan anjak piutang. Dalam pelaksanaannya, seringkali ditentukan bahwa risiko tidak terbayarnya piutang dari customer menjadi tanggung jawab klien sepenuhnya tanpa memperhatikan apakah factoring tersebut jenis recourse factoring maupun without DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 2 NO. 1 MARET 2018
219
recourse factoring. Padahal, bagi industri kecil yang kurang berpengalaman dalam manajemen piutang, fungsi pengelolaan piutang ini sangat penting, supaya dapat memfokuskan diri pada produksi dan pemasaran.
Ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara para pihak menimbulkan ketidakadilan yang merupakan salah satu faktor utama yang harus ada dalam hukum. Siti Malikhatun Badriyah dkk. mengemukakan bahwa “Justice is one of the main factors in addition to the factor of certainty and expediency that must exist in the rule of law, including the law of contract.”2 Oleh karena penelitian yang bertujuan untuk mengungkap dan menganalisis pertanggungjawaban klien dalam perjanjian factoring untuk industri kecil ini sangat urgent untuk dilakukan. Permasalahan yang diangkat bagaimana pertanggungjawaban klien dalam perjanjian factoring bagi industri kecil yang saat ini berkembang di dalam kehidupan masyarakat? Bagaimana seharusnya pertanggungjawaban klien dalam perjanjian factoring untuk industri kecil agar dapat mewujudkan keseimbangan hubungan hukum antara para pihak?
219
recourse factoring. Padahal, bagi industri kecil yang kurang berpengalaman dalam manajemen piutang, fungsi pengelolaan piutang ini sangat penting, supaya dapat memfokuskan diri pada produksi dan pemasaran.
Ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara para pihak menimbulkan ketidakadilan yang merupakan salah satu faktor utama yang harus ada dalam hukum. Siti Malikhatun Badriyah dkk. mengemukakan bahwa “Justice is one of the main factors in addition to the factor of certainty and expediency that must exist in the rule of law, including the law of contract.”2 Oleh karena penelitian yang bertujuan untuk mengungkap dan menganalisis pertanggungjawaban klien dalam perjanjian factoring untuk industri kecil ini sangat urgent untuk dilakukan. Permasalahan yang diangkat bagaimana pertanggungjawaban klien dalam perjanjian factoring bagi industri kecil yang saat ini berkembang di dalam kehidupan masyarakat? Bagaimana seharusnya pertanggungjawaban klien dalam perjanjian factoring untuk industri kecil agar dapat mewujudkan keseimbangan hubungan hukum antara para pihak?
2 Siti Malikhatun Badriyah, Siti Mahmudah, Amalia Diamantina, Aju Putriyanti, The Model of Factoring Agreement to Develop Small Medium Enterprises in Indonesia, Conference Proceedings of 10th International Congress on Social Sciences 23-24 September 2016, Madrid, Spain, hlm. 624-632.
2. Metode Penelitian
Untuk menjawab problematika penelitian digunakan metode mixed methode, yang memadukan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Dalam hal ini menggunakan pendekatan legal pluralism, yang mengintegrasikan pendekatan (1) normatif (state law) dengan melihat peraturan-peraturan hukum tertulis yang berkaitan dengan perjanian factoring untuk industri kecil, (2)sosiologis (living law) yaitu mengungkap serta menganalisis
praktik pembiayaan factoring bagi industri kecil khususnya mengenai pertanggungjawaban klien, dan (3) filosofis (religion, moral, ethic) dengan mengkaji dan menganalisis nilai-nilai, asas-asas yang ada di dalam masyarakat yaitu industri kecil. Selanjutnya akan memberikan alternatif pembiayaan factoring yang sesuai dengan prinsip hukum perjanjian dan prinsip factoring. Dalam hal ini dilakukan penelitian kepustakaan dengan teknik studi dokumen, serta penelitian lapangan dengan teknik wawancara. Teknik analisis data dengan menggunakan analisis kualitatif, dan pengujian data dengan menggunakan triangulasi sumber maupun metode.
3. Kerangka Teori
a. Konsep tentang Perjanjian Factoring
Pasal 1 angka 6 Perpres R.I. Nomor 9 Tahun 2009 menyebutkan bahwa “Perusahaan Anjak Piutang (Factoring Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang jangka pendek beserta pengurusan piutang tersebut.” Setelah adanya Otoritas Jasa Keuangan, segala sesuatu yang berkaitan dengan perijinan dan pengawasan tidak lagi dalam lingkup Kementerian Keuangan tetapi dalam lingkup Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 28/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Pembiayaan dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/ POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.
Kegiatan anjak piutang (factoring) didasarkan pada perjanjian. Perjanjian anjak piutang tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pengaturan yang ada sampai saat ini hanya bersifat administratif, sedangkan hak dan kewajiban para pihak tidak diatur. Perjanjian anjak piutang dapat masuk dan berkembang di Indonesia berdasarkan asas Reorientasi Pertanggungjawaban Klien Dalam Perjanjian Factoring Bagi Industri Kecil
kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata). Perjanjian anjak piutang dapat ditundukkan pada KUHPerdata berdasarkan Pasal 1319, yang mengatur tentang perjanjian bernama dan tidak bernama.
Dari pengertian serta kegiatan factoring dapat dilihat bahwa perjanjian anjak piutang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Para pihak dalam kegiatan anjak piutang, yang terdiri dari 1) Perusahaan Anjak Piutang, yaitu perusahaan yang membeli atau menatausahakan penjualan serta penagihan piutang perusahaan klien; 2) pihak klien, yaitu pihak yang memiliki piutang yang kemudian dijual kepada Perusahaan Anjak Piutang; 3) pihak customer, yaitu pihak yang berhutang kepada pihak klien;
b. Objek perjanjian anjak piutang adalah piutang dagang, yaitu piutang yang timbul dari transaksi perdagangan dalam maupun luar negeri;
c. Pembelian atau pengalihan piutang;
d. Penatausahaan penjualan piutang.
e. Penagihan piutang pihak klien.
Dari unsur-unsur di atas dapat dilihat bahwa perjanjian factoring mempunyai unsur-unsur perjanjian jual beli piutang, yang sudah diatur dalam KUHPerdata, namun perjanjian anjak piutang juga mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dari perjanjian jual beli piutang biasa, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian anjak piutang merupakan perjanjian jenis baru yang mandiri.
Perjanjian factoring pada umumnya dibuat dalam bentuk standard.
Nur Syaimasyaza Mansor & Khairuddin Abdul Rashid3 mengemukakan bahwa the use of
3 Nur Syaimasyaza Mansor & Khairuddin Abdul Rashid, “Incomplete Contract in Private Finance Initiative (PFI) contracts: causes, implications and strategies,” Elsevier, Procedia - Soc. Behav. Sci. 222 ( 2016 ) , Available online www.sciencedirect.com, vol. 222, no. ASLI QoL2015, Annual Serial Landmark International Conferences on Quality of Life ASEAN-Turkey
ASLI QoL2015 AicQoL2015Jakarta, Indonesia. AMER International Conference on Quality of Life The Akmani Hotel, Jakarta, Indonesia, 25-27 April 2015 “Quality of L, pp. 93–102, 2016.
4 Martin van den Hurk, Koen Verhoest, “On the Fast Tract? Using Standard Contracts in Public-Private Parnership for Sports Facilitie: A Case Study,” Int. J. Sport Manag. Rev. G Model. SMR 379, No. Pages 14, 2016, J. homepage www. Elsevier.com/locate/smr., vol. SMR 379, p. 14, 2016.
3 Nur Syaimasyaza Mansor & Khairuddin Abdul Rashid, “Incomplete Contract in Private Finance Initiative (PFI) contracts: causes, implications and strategies,” Elsevier, Procedia - Soc. Behav. Sci. 222 ( 2016 ) , Available online www.sciencedirect.com, vol. 222, no. ASLI QoL2015, Annual Serial Landmark International Conferences on Quality of Life ASEAN-Turkey
ASLI QoL2015 AicQoL2015Jakarta, Indonesia. AMER International Conference on Quality of Life The Akmani Hotel, Jakarta, Indonesia, 25-27 April 2015 “Quality of L, pp. 93–102, 2016.
4 Martin van den Hurk, Koen Verhoest, “On the Fast Tract? Using Standard Contracts in Public-Private Parnership for Sports Facilitie: A Case Study,” Int. J. Sport Manag. Rev. G Model. SMR 379, No. Pages 14, 2016, J. homepage www. Elsevier.com/locate/smr., vol. SMR 379, p. 14, 2016.
a standard contract is very common in industry. Through many years of drafting contracts, common provisions or similar terms had been identified and led to the formation of standard contracts. Many institutions either internationally or locally had established their standard contract. Menurut Martin van den Hurk, Koen Verhoest,4 standard contracts are modularly structured documents, which provide standard terms for these processes; it is argued that they help reduce transaction costs by limiting the room for contractual negotiations. Perjanjian standard merupakan perjanjian yang disusun secara sepihak oleh salah satu pihak yang pada umumnya memiliki bargaining position lebih kuat dibandingkan pihak lainnya yang biasanya disebut adherent. Pihak adherent hanya memiliki pilihan untuk menerima atau menolak perjanjian tersebut (take it or leave it).
b. Konsep tentang Industri Kecil
Pengertian tentang Industri Kecil tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian, khususnya dalam ketentuan umum. Mengingat bahwa industri kecil juga merupakan suatu kegiatan ekonomi maka industri kecil adalah suatu usaha kecil yang bergerak di bidang industri, yang memenuhi kriteria tertentu.
Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW• VOL. 2 NO. 1 MARET 2018 1
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, selanjutnya disebut UU UMKM). Kriteria atau ukuran yang dipakai untuk menentukan suatu usaha termasuk dalam kriteria usaha kecil bersifat subjektif dan relatif. Dikatakan subjektif, karena masing-masing negara akan menentukan sesuai dengan kehendak negara tersebut, dan berbeda dengan negara lain. Dikatakan relatif, karena kriteria tersebut dapat berubah sesuai dengan perkembangan situasi atau kondisi dari negara yang bersangkutan.5 Terdapat berbagai kriteria yang lazim digunakan untuk menentukan suatu usaha adalah usaha kecil, antara lain :
5 Sartono Kadri, Masalah Yang Dihadapi Perbankan Dalam Membiayai Pengusaha Golongan Ekonomi Lemah, Makalah Lokakarya, BNI 1946 – PWI, Yogyakarta 21- 8 – 1981.
6 Sri Redjeki Hartono, 1996, Perlindungan Bagi Pengusaha Kecil Dalam Perspektif Hukum dan Undang-Undang, Makalah Seminar Nasiona Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi untuk Mengantisipasi Peluang dan Tantangan Usaha Kecil Memasuki Era Pasar Bebas, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm. 5
1. Berdasarkan omset / penjualan bruto setiap tahun;
2. Berdasarkan modal yang dimiliki;
3. Berdasarkan jumlah tenaga kerja;
4. Berdasarkan besarnya pajak yang dibayar setiap tahun pajak.6
Di Indonesia, kriteria yang dipakai untuk menentukan suatu usaha itu usaha kecil, menengah atau besar pada umumnya berdasarkan modal, dan tenaga kerja. Meskipun demikian belum ada kebakuan mengenai jumlahnya. Kriteria ini masih bersifat subjektif sekali, karena masing-
masing instansi menggunakan ukuran sendiri-sendiri yang berbeda satu dengan yang lain berdasarkan kepentingan masing-masing.
B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Pertanggungjawaban Klien dalam Perjanjian Factoring Bagi Industri Kecil yang Berkembang di Masyarakat
Menurut Hetifah, karakteristik dominan Usaha Kecil meliputi :7
7 Hetifah Sjaifudian, 1995, Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil,: AKATIGA , Bandung, hlm. 74
1. Usaha Kecil Padat Karya
Usaha Kecil terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Seperti di negara berkembang lainnya Usaha Kecil selalu ditandai dengan penggunaan banyak tenaga kerja. Lebih 34 (tiga puluh empat) juta dari total 74,5 (tujuh puluh) juta angkatan kerja diserap di sektor ini.
2. Kelenturan Usaha
Kelenturan merupakan karakteristik lain yang menonjol pada usaha kecil. Usaha kecil sangat mudah berubah, menyesuaikan dengan kondisi yang berkembang dalam lingkungan usahanya, baik yang berkembang akibat perubahan fungsi pasar itu sendiri maupun akibat intervensi pihak tertentu.
3. Strategi Usaha Jangka Pendek
Pada umumnya Usaha kecil, seperti kegiatan ekonomi lainnya di Indonesia, berorientasi usaha jangka pendek, yakni ingin mendapatkan keuntungan dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan permodalan yang terbatas, dan sangat bergantung kepada modal kerja. Strategi ini merupakan konsekuensi dari kondisi lingkungan yang diwarnai ketidak pastian. Reorientasi Pertanggungjawaban Klien Dalam Perjanjian Factoring Bagi Industri Kecil
222
4. Diferensiasi Usaha
Diferensiasi merupakan ciri umum yang banyak ditemukan dalam dunia industri kecil di dunia ke tiga. Di samping keragaman usaha, dunia usaha kecil diwarnai adanya diferensiasi usaha yang sangat luas, antara lain dalam aspek produksi serta kategori sosial para pelaku yang terlibat di dalamnya.
Instansi Pembuat Sektor Ukuran Yang Digunakan
Badan Pusat Statistik
Bank Indonesia
BKPM
Menteri Keuangan (Keputusan Menteri Keuangan No. 316/KMK.16/1994
Menperindag
Menegkop dan UKM
UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM Industri
Industri
Industri
Industri
Manufaktur
Seluruh sektor
Seluruh sektor Usaha Kecil memilikiTenaga kerja 5 s/d19 orang, Usaha Menengah 20 s/d 99 orang
Aset Rp. 600 juta
Aset Rp. 200 juta
Aset Rp. 600 juta, omzet 600 juta/tahun
Omset Rp. 25 juta, Aset Rp. 600 juta
Aset Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha,
Omset Rp. 200 juta – 10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan
Usaha Kecil: Aset lebih dari 50 juta – 500 juta, Omzet 300 juta – 2 milyar 500 juta
Usaha Menengah: Aset: Lebih dari 500 juta-10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
Omzet 2 milyar 500 juta -50 milyar
Posting Komentar untuk "JURNAL PERJANJIAN FACTORING BAGI INDUSTRI KECIL "